Naomi Jayalaksana, redaktur senior majalah wanita Femina di Jakarta baru saja menyelesaikan program pelatihan jurnalistik di Australia. Inilah kesan yang dirasakannya selama lima minggu berada di Melbourne, Canberra, Newcastle, Albury dan Ballarat.
Saya sangat beruntung mendapat kesempatan mengikuti fellowship untuk para jurnalis dari Australia Awards yang bekerja sama dengan Asia Pacific Journalism Centre di Melbourne. Berangkat dari kota metropolitan seperti Jakarta, saya terbiasa dengan budaya individualistis dan MYOB atau mind your own business. Bekal ini membuat saya merasa siap untuk berbaur dengan masyarakat barat yang juga berpandangan seperti itu – setidaknya, kesan inilah yang saya tangkap dari film-film Hollywood.
Namun, hidup selama lima minggu di Australia membukakan fakta baru yang sama sekali berbeda. Saya sering kaget-kaget dengan keramahan dari penduduk lokal. Saat menunggu trem pulang, seorang bapak menawarkan saya untuk berpotret bersama dengan burung kakak tuanya yang bernama Willem. “Klik..klik” foto cantik kami berdua pun berhasil diabadikan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Apakah setiap orang saling mengenal di kota ini?” tanya saya, polos. Kalau di Jakarta, tindakan serupa bisa memancing curiga, atau disalahartikan sebagai “genit” dan SKSD (sok kenal sok dekat).
“Tidak harus saling kenal hanya untuk menyapa, bukan?”, jawab sang sopir, geli.
Sebagai wakil dari negeri timur yang “dikenal” dengan kehangatan dan sopan santunnya, saya hanya bisa tertawa kecut. Malu!

Dan bukan ramah yang remeh atau gampangan, karena saya bisa merasakan ketulusan di dalamnya. Di hari pertama tiba di Newcastle untuk kesempatan magang di harian Newcastle Herald, kami tidak bisa menghubungi pemilik rumah sewaan. Dengan kopor-kopor bawaan, kami terlihat seperti anak ayam kehilangan induk – berdiri di tepi trotoar, bingung, lapar dan kedinginan. Dua orang wanita muda yang kebetulan lewat tiba-tiba menyapa ramah dan berinisiatif menawarkan bantuan. Rupanya, salah satunya adalah calon tetangga baru kami. Akhirnya, kami bisa masuk juga ke rumah.
Tidak berhenti di situ, seperti tahu kami kelaparan, keduanya memberikan lokasi-lokasi makan, mulai dari resto Asia yang pas dengan lidah kami, sampai tempat untuk sarapan dan ngopi di pagi hari. Astagaa…bahkan setelah mereka berlalu, saya dan kedua teman lain (dari Bali dan Riau), masih terbengong dan heboh membincangkan “keramahan yang luar biasa” ini. Di lain waktu, kedua teman baru ini mengundang kami untuk makan malam dan menikmati jam “chocolate time!” bersama. Kesan dingin warga western dan isu ras yang sempat merisaukan saya di hari keberangkatan langsung terkikis.

Selain mendapat bekal ilmu jurnalistik dan memahami peta media di Australia, saya juga mendapat pelajaran berharga tentang kontrak sosial. Istilah ini mengemuka di salah satu kelas workshop pelaporan berita ekonomi & bisnis oleh Nigel McCarthy, seorang jurnalis ekonomi senior dan akademisi dari Sydney.
Nigel mengatakan bahwa pemahaman kontrak sosial tidak hanya mengikat antara pebisnis dan masyarakat atau komunitas di sekelilingnya. Tetapi, juga merasuk dalam budaya kehidupan sehari-hari. Tidak seperti di Indonesia (maaf, tapi memang demikian), di mana teori hanya terhenti di batas empat tembok, di Australia kami bisa menyaksikan dan memahami secara langsung teori yang disampaikan oleh Nigel. Sehingga, ada sebuah keteladanan, yang masih sangat langka ditemukan di Indonesia.
Salah satu contoh kontrak sosial yang kami saksikan di negeri Kangguru ini adalah kesadaran pengendara bermotor untuk mendahulukan penyeberang jalan. “Jalan merupakan ruang umum yang dipakai bersama, sehingga berlaku kesepakatan atau kontrak sosial yang memastikan bahwa kepentingan setiap penggunanya akan terpenuhi,” ungkap Nigel.
Kontrak sosial yang berlaku di jalan raya ini sering membuat kami – sebagai pejalan kaki yang haknya sering terampas di tanah air sendiri – merasa sangat terharu! Seperti ungkapan spontan salah satu rekan wartawan dari Jakarta, “Duh, sesuatu banget ya, bisa merasa dinomorsatukan seperti ini.”
Membandingkan Jakarta dengan Melbourne, atau kota-kota lain di Australia – yang sudah sangat maju dan berkesinambungan dalam hal pembangunan ekonomi atau perencanaan kotanya – memang tidak “apple to apple”. Seperti ungkapan Nigel, “Reporting economy in Asia is very interesting because you are witnessing 500 years of history happen in 20 years.” (Membuat tulisan mengenai kehidupan perekonomian di Asia sangat menarik karena kita menyaksikan sejarah 500 tahun sekarang terjadi dalam waktu 20 tahun). Tapi, hal ini hendaknya tidak menjadi pembenaran terhadap segala keputusan terburu-buru dari para pembuat kebijakan yang kurang perencanaan dan tidak visioner.
*Tulisan ini adalah pendapat pribadi
(nwk/nwk)