Mengenakan kemeja warna merah dan celana jeans, Urip duduk sendirian di meja sisi kiri ruang pengadilan negeri Tipikor, Jakarta. Di sisi berseberangan ada tim jaksa dari KPK yang dipimpin Rini Triningsih.
Begitu sidang dimulai oleh ketua majelis hakim βSupriyono, Uri membacakan satu per satu poin-poin dalam nota PK yang dia ajukan. Adapun novum atau bukti baru yang diajukan oleh Urip seluruhnya merupakan barang bukti, tidak ada satu orang pun saksi atau ahli.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sedangkan dalam novum kedua, Urip memaparkan amar putusan untuknya tidak menyertakan frasa 'perintah supaya ditahan atau tetap ditahan atau dibebaskan.' Padahal menurut Urip sesuai dengan putusan MK nomor 69/PUU-X/2012, frasa tersebut harus disebutkan dalam amar putusan.
"Tidak dipenuhinya ketentuan ini mengakibatkan putusan ini batal demi hukum," ujar Urip.
Lantas pada novum ketiga, Urip menyatakan jaksa pada KPK tidak memiliki kewenangan untuk proses eksekusi putusan pengadilan. Dia mengkaji UU 30 Tahun 2002 Tentang KPK, dibandingkan dengan UU 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan RI. Menurut Urip kewenangan untuk melakukan eksekusi tetap ada pada jaksa pada Kejaksaan .
Uri kemudian memaparkan kajiannya terhadap pasal 5 ayat 1 unto Pasal 5 ayat 2 UU Tipikor yang menjerat Artalita Suryani. Perempuan yang akrab dipanggil Ayin itu adalah terpidana penyuap Urip.
Menurut Urip, seharusnya dia dikenai pasal 5 ayat 2 tentang penerimaan suap pasif bukan pasal 12 huruf b dan huruf e mengenai suap aktif, yang membuatnya menjadi terpidana dengan masa kurungan 20 tahun. Adapun ancaman maksimal dalam pasal 5 ayat 2 adalah hukuman lima tahun penjara.
Urip juga menyinggung mengenai substansi kesaksian di persidangan, yakni keterangan saksi Reno Iskandarsyah sebagai disebut sebagai satu-satunya saksi. Padahal menurutnya, keterangan Reno saja tidak cukup karena harus didukung saksi lain.
"Kekeliruan itu tampak semakin nyata di mana jaksa penuntut umum memformulasikan tuntutan pidana terbukti pada Pasal 12 huruf b (penyuapan) sedangkan majelis hakim memutus pada Pasal 12 huruf e tentang pemerasan," kata Urip.
Di bagian penutup, Urip menyampaikan bahwa majelis hakim sangat perlu untuk mempertimbangkan memori PK yang dia ajukan. Hukuman 20 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsidair delapan bulan kurungan menurutnya sangat tidak adil.
"Terhadap pidana yang dijatuhkan terdapat disparitas yang mencolok dibandingkan pelaku tindak pidana korupsi lainnya. Demikian pula denda yang sangat berat sehingga tidak mampu kami bayar," ujar Urip.
(fjr/aan)