"Tentara ini membantu untuk melakukan ekskavasi. Penelitian substansinya tetap dilakukan oleh para ahli itu. Dan itu untuk Pak Ali Akbar itu juga orang yg punya kompetensi kan, dia doktor dia dosen UI. Kita hargai semuanya, kecuali kalau yang satu yang melakukan ini tidak jelas, nggak punya track record," terang Nuh di Gunung Padang, Cianjur, Rabu (17/9/2014).
"Ini semuanya punya teknik kok," tambah dia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Nuh menerangkan, penggunaan bor juga dilakukan sesuai kaidah keilmuan tak sembarang pakai. Lagipula digunakan untuk mengungkap pengetahuan dan penggunaannya berdasarkan persetujuan arkeolog.
"Itu wajar-wajar saja. Kalau nggak, pakai apa coba kalau nggak pakai bor. Tentunya dia sudah punya hitung-hitungan, kalau nggak di situ di mana coba sampeyan. Coba kalau nggak di situ di mana? Dia kan sudah, kita serahkan ahlinya. Jadi kalau kita tidak setuju sepanjang punya alasan akademiknya ya oke," urai dia.
"Siapa yang mengatakan langgar cagar budaya? Siapa yang bilang begitu? Ya silakan ndak apa-apa. Kalau kita nggak pakai bor, pakai apa hayo? Kita pakai apa coba? Kita ingin mengetahui kedalaman yang ada di gunung ini, taruhlah 5 meter 10 meter, mau pakai apa? Digali? Nggak masuk akal. Mau digali dengan lebar 10 M gitu, nggak masuk akal," tambahnya lagi.
Menurut dia, sepanjang perdebatan Akademik dan sepanjang bisa dibuktikan Akademik, tidak ada masalah dalam metode Gunung Padang ini.
"Jangan semuanya tidak setuju terus semuanya serba salah. Jadi kecuali kalau yang melakukan penelitian sekolahnya nggak jelas, dia tidak punya track record akan hal itu, kita tidak segegabah itu," imbuhnya.
"Tapi kalau mereka melakukan penelitian itu secara engineering bisa dibuktikan, ada urusan geologinya, arkeologinya ada, kecuali kalau Pak Ali Akbar bukan arkeolog kita nggak percaya, kalau ada arkeolog lain nggak setuju nggak apa-apa sepanjang masih ada landasan yang bisa dipegang," tutupnya.
(dha/ndr)