Politik Bathara Kala
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom Djoko Suud

Politik Bathara Kala

Selasa, 16 Sep 2014 11:38 WIB
Djoko Suud Sukahar
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Jakarta - Suryadharma Ali resmi dipecat. Dia digantikan wakilnya, Emron Pangkapi. Pemecatan ini merupakan puncak kisruh di tubuh partai bergambar kakbah. Kini, partai yang kelahirannya mirip ‘Bathara Kala’ itu memangsa anaknya sendiri.

Sejak pilpres partai ini terus gonjang-ganjing. Itu karena sang ketum Suryadharma Ali main dukung tanpa mengajak yang lain. Mantan menteri yang dipaksa mundur karena tersandung korupsi itu kukuh berdiri di belakang Prabowo. Yang berseberangan dengannya dikenai saksi, pecat!

Masih kokohnya kekuasaan Suryadharma Ali itu membuat partai ini limbung. Dalam pilpres kemarin suara partai ini terpecah. Sebagian ke Prabowo, bagian lain ke Jokowi. Format awal dinominasikan untuk ‘menghijaukan’ PDIP belepotan. Akhirnya posisi itu digantikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kekuatan Suryadharma Ali meredup ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkannya sebagai tersangka. Dan skak mat saat Prabowo yang diharapkannya 'membela' ternyata juga kalah dalam pilpres. Ini yang meneguhkan internal partai untuk 'menyudahi'.

Partai Persatuan Pembangunan (PPP) merupakan partai yang tidak 'diingini' kelahirannya. Partai ini bak Bathara Kala yang berasal dari 'kama' Bathara Guru yang jatuh ke samudera saat bersama Dewi Uma di punggung Lembu Andini. Fusi beberapa partai Islam di zaman Orde Baru diharap partai ini bisa dikendalikan. Bersama Partai Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI), ternyata PPP tidak kunjung mampu 'dijinakkan' pemerintah.

Partai ini tetap lantang berteriak. Dia memposisikan sebagai partai oposisi yang sangat diperhitungkan. Presiden Soeharto terpaksa harus menerapkan strategi Sultan Agung untuk membuatnya lemah. 'Hajinisasi politik' dilakukan. Bupati dan Gubernur diberangkatkan haji ke tanah suci. Ini agar memberi kesan, bahwa yang Islam itu bukan hanya PPP.

Dan ketika Bupati 'yang haji' serta Gubernur 'yang haji' itu korupsi, meminta sogokan, melakukan penyelewengan proyek, bukan oknum yang dituding, tetapi 'hajinya'. Ini politik cerdas mendelegitimasi cap Islam yang kala itu menempel lekat di tubuh PPP. Sedikit 'bau-bau' SARA.

Langkah itu yang diterapkan cucu Panembahan Senopati saat sulit melebarkan kekuasaan. Kerajaan-kerajaan Islam kecil tidak kunjung bisa ditaklukkan, karena solidaritas antar mereka yang dikoordinasi para wali (aulia) tidak memberi kemungkinan Mataram menginvasi.

Untuk mengatasi sandungan itu, Sultan Agung 'memberi baju' Mataram menjadi Islam. Mengajukan pemakaian gelar sultan ke Ottoman (Turki), mengubah perhitungan tahun bulan ke matahari, ritus-ritus terkesan Islami. Hingga mengeliminasi Huruf Caka menjadi Huruf Jawa.

Berkat itu kerajaan-kerajaan Islam kecil di pesisir Pulau Jawa berhasil dicaplok. Sekutu Surabaya yang ada di Kalimantan diserang, kerajaan induk, dan Giri ditaklukkan secara dramatis melalui perkawinan politik. Sang adik dikawinkan dengan Pangeran Pekik muda.

Terkena 'serangan' sejenis itu, PPP pamornya merosot. Ditambah turun panggungnya tokoh-tokoh vokal dalam partai, dan dinamika politik yang ada, maka partai ini kesulitan menaikkan pundi-pundi suaranya. Jika belakangan kembali terkerek, tidak dipungkiri, itu karena kegigihan Suryadharma Ali yang terus melakukan gerilya di basis suara NU di pesantren.

Suryadharma Ali sudah menjadi tumbal partainya sendiri. Dia dipaksa legowo menyerahkan tongkat kepemimpinan PPP. Akankah partai ini akan terpuruk atau justru moncer sepeninggalnya? Saya kok yakin partai ini makin bagus ke depan. Itu karena roh partai yang membuatnya eksis telah dikembalikan lagi. Partai Islam yang menjalankan akidah secara benar. Haram bagi koruptor, biarpun baru tersangka.

Adakah dengan lengsernya Suryadharma Ali ini PPP akan merapat ke Jokowi seperti skenario awal? Kendati Bang Akbar Tandjung optimis PPP loyal terhadap Koalisi Merah Putih, tapi loyalitas setengah hati rasanya tidak sulit untuk dialihkan ke lain hati.

*) Djoko Suud Sukahar adalah pemerhati sosial budaya. Penulis tinggal di Jakarta.

(nwk/nwk)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads