Dari rilis yang diterima detikcom dari WWF Indonesia, Selasa (16/9/2014), Indonesia merupakan habitat bagi 4 jenis hiu dan 2 jenis pari manta yang tercantum dalam daftar Appendix II CITES itu.
Spesies hiu itu adalah jenis oceanic whitetip shark, dan 3 jenis hammerhead shark (scalloped hammerhead, smooth hammerhead, great hammerhead). Untuk pari yaitu jenis oceanic manta dan reef manta.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ketujuh spesies ini dicantumkan dalam daftar Appendix II setelah diperolehnya 2/3 suara mayoritas dari negara-negara yang meratifikasi CITES, termasuk Indonesia, di pertemuan sebelumnya.
"Dengan diberikan waktu selama 18 bulan sebelum pemberlakuan regulasi ini, negara-negara yang meratifikasi CITES diharapkan dapat melakukan persiapan terlebih dahulu sehingga penerapannya dapat terlaksana dengan baik," kata Spesialis Perdagangan Satwa Liar WWF-Internasional Dr. Colman O Criodain.
Menanggapi regulasi CITES ini, pemerintah Indonesia telah mengeluarkan kebijakan perlindungan penuh terhadap hiu paus, oceanic manta dan reef manta, serta menyusun Rencana Aksi Nasional. Selain itu, Kementerian Kelautan dan Perikanan, melalui Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan (KKJI), juga berkolaborasi dengan Ditjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) dalam penyusunan dokumen-dokumen pelengkap dalam pengelolaan perikanan hiu.
"Upaya penyusunan rencana pengelolaan di tingkat nasional perlu segera dilakukan dalam memastikan penerapan ratifikasi CITES ini dapat berjalan dengan baik dan populasi hiu dapat dilestarikan," ucap Direktur Coral Triangle WWF-Indonesia Wawan Ridwan.
WWF berharap regulasi CITES tidak hanya dapat tegas penerapannya, tetapi juga mampu mendorong pengelolaan perikanan berkelanjutan. Soalnya jumlah populasi beberapa spesies hiu dan manta yang berstatus langka ini bahkan sudah pada tingkat yang sebenarnya tidak layak ditangkap lagi. Dibutuhkan waktu pemulihan untuk menyelamatkan spesies-spesies tersebut dari ancaman kepunahan.
Menurut WWF, hiu adalah predator puncak dan memiliki peranan penting dalam menjaga kesehatan ekosistem laut. Mengatur perdagangan adalah kunci untuk melindungi spesies penting ini dan memastikan laut tetap produktif berkontribusi untuk ketahanan pangan.
Diperkirakan 90% populasi hiu di beberapa lokasi di dunia mengalami penurunan drastis. Spesies ini diburu untuk sirip, daging, kulit, minyak hati dan tulang rawannya. Permintaan pasar akan sirip hiu terbesar berasal dari Asia, yang kemudian menjadi pendorong atas penangkapan ikan secara berlebihan yang mengakibatkan penurunan populasi.
Sirip oceanic whitetip dan hammerhead diburu karena bernilai tinggi. Sementara sepiring produk olahan insang pari manta dicari untuk tonik kesehatan di Cina Selatan.
Kerjasama internasional dinilai WWF sangat penting untuk implementasi langkah-langkah baru CITES. Konvensi ini merupakan bagian dari solusi terpenting untuk mempercepat perbaikan dalam pengelolaan perikanan di negara kepulauan. Akan tetapi, juga sangat penting untuk mengurangi konsumsi sirip hiu dan daging hiu.
WWF sendiri telah menginisiasi kampanye untuk mengajak perusahaan dan konsumen di beberapa negara Asia agar berhenti membeli, menjual atau mengonsumsi sirip hiu. Mei 2013 lalu, WWF Indonesia meluncurkan kampanye Save Our Sharks (#SOSharks) yang mengajak publik untuk menghentikan promosi kuliner, konsumsi, penjualan produk-produk hiu di restoran, hotel, ritel, toko online, dan media massa.
Kampanye WWF itu telah berhasil mendorong pencapaian komitmen maskapai penerbangan Garuda Indonesia untuk mengeluarkan kebijakan embargo atas pengiriman kargo sirip hiu. Selain itu, kampanye #SOSharks juga mendapatkan dukungan dari Pemprov DKI Jakarta dengan mengeluarkan instruksi gubernur mengenai pelarangan konsumsi dan perdagangan secara internal di seluruh staff Pemprov DKI Jakarta.
Saat ini Pemprof DKI Jakarta sedang menyiapkan Perda. Perda itu nantinya mengatur restoran atau rumah makan di Jakarta agar berhenti menyajikan atau memperdagangkan produk-produk hiu serta turunannya.
(bar/rmd)