Vonis penjara yang diberikan tiga hakim agung kepada dr Bambang Suprapto membuat geram dunia kedokteran. Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) Indonesia menilai hukuman penjara kepada dr Bambang tidak tepat.
Dr Bambang divonis penjara 1,5 tahun karena terbukti tidak memiliki surat izin praktik saat menangani pasinnya. Menurut kode etik kedokteran, hukuman kepada dokter Bambang haruslah berupa denda. Di sisi lain, Mahkamah Konstitusi (MK) telah menghapus ancaman pidana penjara dalam kasus tersebut.
"Kalau mau dipidana terkait surat izin, ya direktur rumah sakitnya. Jadi dokter itu sanksinya perdata (denda)," ujar Ketua MKEK dr Prijo Sidipratomo SpRad saat dikonfirmasi detikcom, Senin (15/9/2014).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Perlu dicatat, bahwa tidak ada satu dokter pun yang berniat ingin membunuh pasiennya. Majelis ini terutama Pak Artidjo tidak punya kompetensi, mereka ini maunya memenjarakan orang saja," tegas dr Prijo.
Lanjut, dia meminta agar semua majelis hakim dan penegak hukum untuk selalu cermat dalam memutus perkara yang melibatkan pihak dokter. Menurutnya, kasus yang melibatkan dunia kedokteran tidak bisa dipandang lewat kacamata pidana.
"Bukan berarti minta dokter tidak dihukum. Tapi kalau mau dihukum, hukumlah secara tepat," pungkas dr Prijo.
Sebelumnya, Artidjo bersama hakim agung Dudu Duswara dan Sofyan Sitompul memutus bersalah dan memenjarakan dr Ayu dkk. Tidak berapa lama, dr Ayu dibebaskan di tingkat peninjauan kembali (PK) setelah puluhan ribuan dokter di Indonesia menggelar demo nasional.
Hingga saat ini, pejabat resmi MA belum memberikan pernyataan apa pun atas putusan kontroversial itu. Kepala Biro Hukum dan Humas MA, Ridwan Mansyur sudah dihubungi berkali-kali tetapi belum memberikan penjelasan atas vonis dr Bambang. Di sisi lain, hakim agung Gayus Lumbuun telah meminta MA untuk terbuka ke publik.
(rvk/asp)