"Gunung Padang pertama kali disinggung peneliti Belanda NJ Kroom pada 1914, kemudian hilang kabarnya. Dan pada 1979 kembali ditemukan oleh 3 warga, dan sampai sekarang," kata arkeolog dari Balai Arkeologi Nasional, Luthfi Yondri saat berbincang, Senin (15/9/2014).
Menurut arkeolog yang lama meneliti Gunung Padang ini, hal berbau legenda dan mistis memang tak bisa dipisahkan dari keberadaan situs megalitikum itu. Mulai dari cerita Prabu Siliwangi, harta emas, sampai cerita lainnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Cukup unik memang keberadaan situs megalitikum ini, mulai adanya batu kecapi yang bisa berbunyi seperti nada pada kecapi hingga makam-makam tua. Banyak juga yang mengaitkan dengan keberadaan emas di sana, karena lokasi Gunung Padang tak jauh dari tambang emas Cikondang.
"Silakan saja masyarakat berimajinasi, memang banyak soal Gunung Padang ini. Tapi arkeologi ini kan ilmiah," jelas Luthfi.
Dia pernah melakukan eskavasi. Di sana hanya pernah ditemukan gerabah saja, tak pernah ada yang namanya emas. Lagipula, selama ini yang disebut tambang emas Cikondang di dekat Gunung Padang sejak zaman Belanda hingga kini tak pernah dieksplorasi. Artinya, emas yang berada di sana tak pernah signifikan. Jadi Luthfi menepis kalau ada tumpukan emas di Gunung Padang.
Menurutnya juga, batu-batu di Gunung Padang itu merupakan balok-balok ilmiah yang disusun menjadi satu kesatuan. "Itu merupakan permukiman masyarakat dengan budaya megalitikum, pada 2500 tahun sebelum masehi," jelasnya.
Dia yakin, Gunung Padang merupakan punden berundak bukan piramida. Dia meragukan kalau ada kaitan Gunung Padang dengan isu masyarakat Atlantis. Karena menurut cerita-cerita Atlantis negara yang maju, tapi di Gunung Padang tak ada bahkan jejak tulisan. Karena masyarakat yang maju itu dimulai dari tulisan.
"Di Gunung Padang sama sekali tidak ada. Yang ada itu goresan, bagian sisa pelapukan. Di Indonesia baru sekitar abad ke 5 Masehi, sedang di Mesir saja itu sudah 3 ribu tahun sebelum masehi," urainya.
Dia menilai keberadaan Gunung Padang itu sebagai tempat pemujaan nenek moyang. Dahulu kala, masyarakat percaya kalau ruh nenek moyang berada di tempat yang tinggi.
"Situs Gunung Padang ini memang luar biasa. Bangunan sebesar itu tentu dibangun oleh seorang yang karismatik meminta masyarakatnya gotong royong. Saya pikir ini dibangun dalam satu zaman, namun masyarakat yang menggunakan berbeda-beda. Patut dicatat juga, betapa masyarakat sangat agamis karena membangun punden berundak di ketinggian," urai dia.
Luthfi berpesan juga perihal situs ini yang kini banyak disambangi wisatawan. Mesti ada pengelolaan yang baik agar tidak rusak. "Daya dukung dan ruang harus diperkuat," tutup dia.
(ndr/mad)