"Dengan menyatakan sebuah perkawinan tidak sah, maka seluruh akibat hukum yang timbul dari perkawinan jadi tidak ada," kata salah satu pemohon bernama Damian Agata.
Damian menuliskan hal itu dalam salinan permohonan uji materi pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan yang dikutip detikcom, Jumat (5/9/2014). Pasal itu mengatur perkawinan yang sah adalah yang dilakukan menurut hukum agama masing-masingβ.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kewajiban suami terhadap istrinya tidaklah ada, kewajiban istri terhadap suaminya tidak ada pula. Sehingga tidak ada kewajiban orangtua kepada anaknya," ujar Damian.
Alumnus Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI) itu menambahkan, sebuah perkawinan yang dinyatakan tidak sah membuat pasangan suami istri yang jika salah satunya memutuskan menelantarkan pasangannya, maka tidak ada perlindungan hukum dari negara.
"Dan status sosial anak luar kawin yang dapat melekat tidaklah bisa dihapus sebelum perkawinan beda agama yang dilakukan kedua orangtuanya bisa disahkan," ujar Damian.
Oleh karena itu, Damian memberikan gambaran dampak terhadap anak jika negara menyatakan sebuah perkawinan adalah tidak sahβ. Menurut Damian, anak-anak hasil perkawinan beda agama yang dianggap negara tidak sah akan melekatkan status 'anak luar kawin' secara langsung.
"Sekali pun sudah disahkan, status anak luar kawin yang melekat berpotensi menimbulkan rasa minder dalam diri sang anak dan menyebabkan terjadinya diskriminasi sosial yang tidak mudah dihapuskan, meskipun pada akhirnya perkawinan orangtuanya bisa disahkan," papar Damian.
Bagi alumni UI angkatan 2008 itu, dianggap tidak sahnya perkawinan beda agama berpotensi merugikan wanita dan anak-anak. Namun hal berbeda akan terjadi jika MK menghapus Pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan.
"Tidak berlakunya pasal itu akan menghilangkan masalah sah tidaknya perkawinan, yang digantungkan pada hukum agama. Dihapusnya pasal itu akan melindungi wanita dan anak-anak dari kerugian yang dapat muncul dengan memanfaatkan status quo," tutup Damian.
Permohonan ini masih bergulir di Mahkamah Konstitusi (MK) dan belum diputuskan.
(vid/asp)