"Kita sudah menyatakan dia dikejar. Ada instrumen dan masuk DPO (Daftar Pencarian Orang)," kata Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) R Widyo Pramono dalam keterangannya, Rabu (3/9/2014).
Diberitakan sebelumnya pada Selasa (2/9) Winny berusaha meninggalkan Indonesia menuju Singapura. Walaupun sempat dilakukan pencekalan, namun wanita tersebut berhasil lolos sehingga saat ini penyidik harus melakukan kerjasama dalam pencarian eks Dirut Bank DKI tersebut.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Walaupun begitu, Widyo membantah. bahwa pihaknya kecolongan atas kaburnya Winny. Bahkan dirinya mengaku belum mengetahui kabar Ketua KONI Jakarta itu kabur ke Singapura pada Selasa (2/9) kemarin.
"Saya belum ada berita secara resmi keluar negeri atau tidak, dan tanpa ijin, yang demikian kejaksaan menyatakan masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO)," sambungnya.
Widyo bahkan mengatakan bahwa pihaknya sudah mengirim surat pencekalan Winny ke Imigrasi. "Surat pencekalan sudah, langsung cekal yang bersangkutan. Saya sudah ngomong untuk kehatian-hatian, kabur kita cekal," jelas Widyo.
Menurut Widyo, pihaknya tidak main-main dalam mengusut kasus korupsi pembayaran Murabahah (Investment Financing) kepada PT Energy Spectrum untuk pembayaran pesawat udara jenis Air Craft ATR 42-500 dari Phoenix Lease Pte.Ltd Singapura yang melibatkan Winny tersebut.
"Yang jelas kejaksaan tidak main-main dalam perkara korupsi. Tidak ada main mata, kita menghomati asas praduga tak bersalah. Ketika kita panggil seorang saksi atau calon tersangka dalam keadaan sakit kita hormati. Dipanggil lagi, proses berjalan. Kalau ternyata dipanggil, dipanggil dan tidak datang, dan sudah misalnya ke luar negeri, ya kita harus kejar," tutupnya.
Kasus yang menjerat wanita ini bermula saat Winny yang masih menjabat sebagai Direktur Utama Bank DKI melakukan pembayaran Murabahah (Investment Financing/investasi asuransi) kepada PT Energy Spectrum untuk pembayaran pesawat udara jenis Air Craft ATR 42-500 dari Phoenix Lease Pte.Ltd Singapura. Winny yang pada saat itu menjabat sebagai Dirut Bank DKI menolak untuk menyetujui kredit karena debitur tidak berpengalaman.
Namun, pengucuran kredit tetap disetujui Bank DKI Syariah yang masih satu atap dengan Bank DKI walaupun keberadaannya sempat dipisah. Akibat pengucuran dana dari Bank DKI itu, terjadi potensi kerugian negara sebanyak Rp 80 miliar.
Kasus ini pun sebenarnya telah terjadi sejak 2008 lalu dan telah menyeret beberapa tersangka ke meja hijau. Pihak yang terlibat adalah Dirut PT ES, Banu Anwari, Pemimpin Departemen Pemasaran Grup Syariah Bank DKI dan Pemimpin Grup Syariah PT Bank DKI, Athouf Ibnu Tama, serta Analis Pembiayaan Grup Syariah Bank DKI, Hendro Wiratmoko.
(rni/fdn)