Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) melihat dua kasus yang berbeda ini sebagai ketimpangan hukum. Padahal sudah ada UU Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) yang berlaku sejak dua tahun terakhir, terutama jika anak terlibat tindak pidana ringan.
"Mungkin saja sosialisasinya (UU SPPA) belum sampai di sana (Stabat dan Purbalingga) atau sudah sampai tapi belum diimplementasikan pelatihan ke aparat penegak hukumnya. Ini yang kita bersama dorong pemerintah supaya serius," ujar Wakil Ketua KPAI Maria Advanti kepada detikcom, Jumat (29/8/2014).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Maria, ketimpangan yang tampak tergantung pada kasus yang melibatkan anak-anak itu sendiri. Misalnya, anak-anak yang menjadi bandar narkoba bisa meracuni kawan-kawannya dengan narkoba atau seorang anak yang mencuri bebek karena ingin menyantapnya bersama keluarga.
"Ini juga tergantung kasusnya sendiri seperti apa, tapi juga tergantung peran serta masyarakat. Mungkin saja di Stabat itu ada Bapas yang mendampingi jadi hakim berikan keputusan yang lebih baik," ujar Maria.
"Di Purbalingga, mungkin anaknya tidak didampingi orang yang paham hukum atau Bapas. Jadi ketimpangan ini sebabnya apa? Kalau sebabnya itu proses yang tidak menyeluruh bagi si anak dan tidak melindungi hak anak, ini yang perlu kita soroti," tambahnya.
Walau begitu, Maria menyatakan dua kasus ini harus dipelajari secara utuh terlebih dahulu karena masih ada berbagai kemungkinan. Hal itu bisa berupa si siswi yang menjadi bandar narkoba tidak tahu barang yang dimilikinya adalah obat-obatan terlarang.
"Dalam kasus itu, kita tidak menyingkirkan hak anak. Kami melihat secara utuh, dipelajari karena dari kronologi kasus kita bisa melihat seperti apa. Kasus yang melibatkan anak itu ada perlakuan khususnya, beda dengan orang dewasa," ujar Maria.
Kembali pada UU SPPA, Maria menyatakan implementasinya harus dilaksanakan setiap ada kasus hukum melibatkan anak-anak. Sehingga kasus tindak pidana ringan seperti mencuri bebek tidak harus berujung bui.
"Ketika tuntutan pidananya ringan seperti kasus bebek, sangat memungkinkan dengan UU dilakukan pendekatan restorative justice. Ini UU untuk menjauhkan anak kita dari penjara. Ini yang seharusnya disadari penegak hukum kalau UU ini sudah berlaku," ujar Maria.
Di kasus anak yang menjadi penjual ganja, hakim agung Suhadi menolak jika SP dikembalikan ke orang tua. Namun suaranya kalah dengan dua hakim agung lainnya, Dr Imron Anwari dan Dr Zaharuddin Utama.
"Sangat tidak adil, judex factie hanya menghukum dengan tindakan (dikembalikan ke orang tua) tanpa dijatuhi penjara. Padahal terbukti melanggar pasal 114 ayat 1 UU No 35/2009 tentang Narkotika sebagai pengedar dan perantara jual beli ganja," cetus Suhadi.
(asp/try)