"Itu namanya ketimpangan penerapan hukum," kata Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Alvon Kurnia Palma, saat berbincang dengan detikcom, Jumat (29/8/2014).
SP dikembalikan ke orang tua oleh Pengadilan Negeri (PN) Stabat yang dikuatkan di tingkat banding dan kasasi. Adapun ketiga anak di Purbalingga, dihukum pengadilan setempat dengan pidana penjara 2,5 bulan penjara meski sudah ada perdamaian di antara kedua belah pihak.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di kasus SP, hakim agung Suhadi mengajukan dissenting opinion dan memilih tetap memenjarakan SP. Tapi suaranya kalah dengan dua hakim agung lainnya, Dr Imron Anwari dan Dr Zaharuddin Utama sehingga SP tidak dipenjara.
"Kalau dalam pendekatan normatif, benar hakim agung yang mengajukan dissenting opinion tersebut. Memang menjadi pelik saat anak-anak yang berhadapan dengan hukum dimanfaatkan oleh pelaku kejahatan seperti narkoba, illegal loging dan sebagainya," ujar Alvon.
"Seharusnya negara mengejar pelaku pokok atau aktor intelektual untuk dihukum seberat-beratnya agar ada efek penjeraan," sambung Alvon.
Dalam pendapat Suhadi yang dituangkan dalam putusan nomor 321 K/Pid.Sus/2012, SP tidak bisa dikembalikan ke orang tua. Sebab kejahatan yang dia perbuat diancam 15 tahun penjara sesuai pasal 114 UU Narkotika. Selain itu, SP juga menjadi bandar narkoba, di mana perbuatan SP termasuk perbuatan pidana yang luar biasa atau extra ordinary crime yang telah menjadi musuh utama bangsa Indonesia karena akibatnya merusak mental bangsa terutama anak-anak bangsa.
"Sangat tidak adil, judex factie hanya menghukum dengan tindakan (dikembalikan ke orang tua) tanpa dijatuhi penjara. Padahal terbukti melanggar pasal 114 ayat 1 UU No 35/2009 tentang Narkotika sebagai pengedar dan perantara jual beli ganja," cetus Suhadi.
(asp/try)