Kurikulum 2013 mendapatkan resistensi dari beberapa pihak. Tuntutan para guru untuk lebih aktif dikeluhkan guru sendiri karena kurangnya pelatihan. Pelatihan guru menjadi tantangan Kurikulum 2013, juga kesinambungan dengan kurikulum sebelumnya.
"Itu tujuan dari kurikulum (2013) ini. Tapi untuk mencapai tujuan itu kan memerlukan peran dari guru. Nah guru ini sangat minim pelatihannya," kata mantan Mendikbud Prof Dr Ing Wardiman Djojonegoro yang menjabat dari tahun 1993-1998 ini.
Selain itu, perlu diperhatikan kesinambungan dengan kurikulum sebelumnya. "Nah sekarang ini setiap 5 tahun, ganti, ya mungkin agak repot," imbuhnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebagai mantan Mendikbud, bagaimana Anda memandang Kurikulum 2013 yang banyak pro dan kontra ini?
Kalau menurut saya kok malah tidak ramai. Artinya Indonesia ini kan sangat luas dan banyak orang berpendapat, pers terbuka, tiap pendapat keluar, sesungguhnya tidak ramai. Ramainya normal.
Jadi ada orang keberatan tapi yang saya lihat beberapa pihak persiapannya kurang banyak. Orang setuju memang tidak ngomong, orang yang tidak setuju ramai. Tapi yang muncul mereka yang merasa, ini kurikulum sesuatu yang besar, supaya persiapannya lebih banyak lagi?
Kalau Anda mengikutinya seperti apa Pak, beda Kurikulum 2013 dengan kurikulum yang lama atau sebelumnya?
Lah, ndak boleh begitu, ndak bisa dibandingkan. Karena apa, mengubah menyempurnakan kurikulum itu adalah satu kebijaksanaan. Satu program, dari pemerintah. Sehingga itu ya ndak bsia dibilang 'Kenapa diubah yang dulu sudah bagus'. Nggak bisa.
Pemerintah buat satu kebijaksanaan dengan dasar pendapat pemerintah bahwa ini betul dan harus jalan. Jadi itu dari saya. Jadi kalau ada yang bilang 'Bapak nggak kontra atau nggak pro'. Ya bagaimana ya, kebijaksanaan kok.
Bagaimana pendapat Anda, ada istilah yang mengatakan atau mengeluhkan 'Setiap ganti menteri, ganti kurikulum'?
Itu justru normal. Kenapa, begini ini kan jaman demokrasi, maka seorang penguasa berkuasa selama 5 tahun. Dalam 5 tahun itu dia ingin bahwa pendapatnya, visinya, policy-nya itu dilakukan. Sehingga kalau dia merasa harus diperbaiki ya dia perbaiki. Demokrasi itu terjadi.
Kalau dibandingkan dengan zamannya Pak Harto, maka di Pak Harto ada yang namanya GBHN. Ya kan, ada GBHN yang ada dalam konstitusi, itu ada. Yang membuat GBHN itu mestinya parlemen. Tapi zamannya Pak Harto, diambil oper oleh kabinet. Sehingga kabinet berikutnya melaksanakan sedapat mungkin GBHN sehingga ada yang namanya kesinambungan.
Tidak banyak tapi tetap ada kesinambungan. Nah sekarang ini setiap 5 tahun, ganti, ya mungkin agak repot.
Jadi ada titik lemah pada kesinambungan itu?
Iya, agak repot. Kita lihat saja sekarang, kalau kita lihat daerah, bupati, jarang itu, program bupati A diteruskan oleh bupati B, jarang sekali. Kecuali beberapa hal seperti festival Jember kemarin. Itu kan dari bupati yang sebelumnya diteruskan.
Bagaimana menurut Bapak dalam Kurikulum 2013 bahwa guru ditugaskan untuk aktif?
Itu tujuan dari kurikulum ini. Tapi untuk mencapai tujuan itu kan memerlukan peran dari guru. Nah, guru ini sangat minim pelatihannya. Itu yang kita takutkan. Jadi insan-insan pendidikan, takut itu. Bagaimana mengubah mental set yang puluhan tahun, tiba-tiba suruh aktif. Kan harus ada pelatihan.
Terutama bagi guru-guru senior ya Pak?
Iya, yang sudah sepuh-sepuh itu. Jadi itu yang saya bilang ada 2 grup, grup pertama itu grup yang memang aktif. Grup kedua adalah mereka yang tadi, mereka yang merasa harus banyak dilatih gurunya.
(nwk/nrl)