Duh! MA Bebaskan Siswa SMK Pengedar Narkotika

Duh! MA Bebaskan Siswa SMK Pengedar Narkotika

- detikNews
Jumat, 29 Agu 2014 10:37 WIB
Gedung Mahkamah Agung (ari saputra/detikcom)
Jakarta - Mahkamah Agung (MA) membebaskan anak SMK pengedar narkotika dan mengembalikan anak tersebut ke orang tua. Dalam vonis ini MA terpecah. Hakim agung Suhadi memilih dissenting opinion dan menilai anak SMK itu pantas dipenjara.

Kasus bermula saat polisi menangkap AHA dan EAP di Jalan KH Zainul Arifin atau tidak jauh dari Masjid Raya Stabat, Langkat, Sumatera Utara, pada 16 Juni 2010. Dari tangan keduanya didapati 18 paket ganja siap pakai yang dibungkus koran. Lantas dikembangkanlah penelusuran asal mula ganja dan terendus dari SP.

Lantas digelar operasi penangkapan dan dikuntitlah SP. Pada 7 Juni 2012 siang, AHA memesan ganja ke SP dengan harga Rp 200 ribu. Atas pesanan itu, SP lalu membeli dari Ari dan membagi-bagi ganja itu menjadi 35 bungkus.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pada 17 Juni 2010, SP menyerahkan paket ganja itu ke AHA di lingkungan sekolahnya saat melakukan transaksi. SP pun digelandang ke kantor kepolisian untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Dalam tuntutannya, jaksa meminta SP dihukum 5 tahun penjara. Siapa nyana, Pengadilan Negeri (PN) Stabat menjatuhkan hukuman berupa tindakan dikembalikan kepada orang tua. Putusan yang diketok pada 25 Januari 2011 itu, dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi (PT) Medan pada 7 Juni 2011. Atas hal itu, jaksa pun kasasi.

"Menolak permohonan kasasi jaksa," putus majelis kasasi sebagaimana dikutip detikcom dari website MA, Jumat (29/8/2014).

Duduk sebagai ketua majelis Dr Imron Anwari dengan anggota Dr Zaharuddin Utama dan Suhadi. Dalam vonis itu, hakim agung Suhadi memilih mengajukan dissenting opinion (DO). Menurut Suhadi, putusan PN Stabat dan PT Medan nyata-nyata keliru sebab pemberlakukan restorative justice belum mempunyai landasan hukum. UU No 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) yang mengatur tentang diversi dan restorative justice belum ada peraturan pemerintah (PP)-nya.

"Di UU No 11/2012, tidak semua kasus anak bisa direstorasi. Yang paling menentukan adalah ancaman pidananya yaitu di bawah 7 tahun penjara," ujat Suhadi.

Sedangkan perkara a quo dikenakan pasal 114 yang ancaman pidananya maksimal 15 tahun, minimal 5 tahun di dalam praktik di MA untuk anak diterapkan setengah dari minimum khusus ancaman pidana. Apa daya, suara Suhadi kalah saat voting pada 14 Mei 2013 lalu. Imron dan Zaharuddin menolak permohonan jaksa supaya SP dihukum penjara.

(asp/nrl)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads