"Ada 247 daerah yang harus Pilkada. Masa kerjanya berakhir di tahun 2015 kalau itu tidak dilaksanakan berarti perpanjangan tidak mungkin," ungkap komisioner KPU Hadar Nafis Gumay saat ditemui detikcom usai rapat di Hotel Grand Sahid, Jl Jend Sudirman, Jakarta, Kamis (28/8/2014).
"Kalau KPU tidak pas berpandangan diundur, kami sebagai penyelenggara pemilu siap 2015," lanjutnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kalau misal ada undang-undang yang keluar kami harus menyesuaikan lagi. Jadi bagus sekali kalau undang-undang segera selesai supaya kami tidak dua kali (kerjanya)," kata Hadar.
Soal dana yang masih belum jelas alokasinya dari APBD atau APBN juga diharapkan segera menemui titik terang melalui disahkannya undang-undang tersebut. KPU pun mendesak agar peraturan resmi yang menjadi dasar hukum bisa segera diterbitkan DPR segera.
"Bukan sekedar pendanaan saja, tapi jadwal tahapannya juga jadi sulit (kalau UU baru disahkan tahun 2015). Jadi diharapkan segera mungkin bisa keluar," ujar pria berkacamata ini.
"Buat kami bagus kalau undang-undang ini cepat selesai karena kami butuh persiapan. Repot kalau kita sudah jalan undang-undang baru ada," tutupnya.
Sebelumnya, Ketua Perludem Didik Supriyanto menyarankan Pilkada diundur sampai tahun 2016. Sebab apabila dipaksakan 2015, masyarakat sudah terlalu jenuh dan membuat pemilih jadi tidak kritis.
"Menurut kami diundur pelaksanaannya pada 2016 melalui undang-undang atau perpu. Kalau polanya Pilkada itu setahun setelah Pilpres terjadi kebosanan politik. Pemilu berurutan seperti ini membuat pemilih tidak kritis karena tidak sempat mengevaluasi pemenang pemilu sebelumnya. Jadi bisa saja orang memilih di Pilkada berdasarkan sentimen," ujar Didik dalam diskusi media bertajuk 'Masa Depan (RUU) Pilkada (Serentak)' di Restoran Kopi Deli, Jl Sunda, Menteng, Jakpus, Kamis (28/8).
Tak berbeda jauh dengan Didik, pengamat politik dari LIPI, Prof Syamsudin Haris mengamini hal tersebut. Menurutnya lebih baik pelaksanaan Pilkada serentak tidak mendahului Pemilu 2019 berlangsung.
(aws/bal)