"Dalam konteks kekinian, kami sangat menanti UU Pilkada ini ditetapkan. Pilkada 2015 yang pertama sekali akan dilakukan Januari dan itu harus ada kepastian dalam UU," ujar Husni dalam diskusi media bertajuk 'Masa Depan (RUU) Pilkada (Serentak)' di Restoran Kopi Deli, Jl Sunda, Menteng, Jakpus, Kamis (28/8/2014).
Mantan Ketua KPU Sumatera Barat ini berharap payung hukum tentang Pilkada ini bisa diketuk palu oleh anggota dewan sebelum lempar tongkat estafet. Dia tidak ingin kekacauan mekanisme menghantui pemilu di 247 daerah tahun depan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara itu, peneliti LIPI, Prof Syamsudin Haris mempertanyakan apa alasan di balik 'ngototnya' DPR dalam mengesahkan undang-undang pemilu kada (Pilkada). Menurutnya, tidak ada gunanya bila anggota dewan memaksakan kehendak itu hanya untuk memenuhi target saja.
"Jangan sampai pemerintah dan DPR memaksakan untuk memenuhi target penyelesaian undang-undang pada periode ini. Sebab yang paling penting risikonya, apa implikasinya apabila undang-undang yang masih didebat itu disahkan. Jangan sampai diabaikan hitungan-hitungan dampaknya," tutur Syamsudin.
"Sebaiknya pemerintah kita tidak memaksakan untuk mengambil kebijakan strategis, apalagi dalam undang-undang Pilkada masih ada isu kontroversial," lanjutnya.
Dia juga menyarankan, sebaiknya pelaksanaan Pilkada serentak tidak mendahului Pemilu 2019. Sebab, tidak ada ketentuan mahkamah yang memaksanya.
"Sebaiknya Pilkada serentak itu tidak mendahului pemilu serentak. MK memutuskan pemilu serentak 2019, jangan kita paksakan Pilkada serentak 2015. Tidak ada mahkamah yang memaksa itu," ucap Syamsudin.
(aws/rmd)