"βSaya membaca mengenai apa yang menjadi keberatan dari Kurikulum 2013 itu. Salah satunya, dia (FSGI) nggak setuju kalau semua mata pelajaran dikaitkan dengan pembentukan sikap," ujar Nuh dalam perbincangan dengan detikcom di sela-sela acara Forum Aliansi Peradaban PBB di The Laguna Resort, Nusa Dua, Bali, Rabu (27/8/2014) malam.
Padahal menurut Nuh, pembentukan sikap dalam setiap mata pelajaran, adalah konsep dasar dari Kurikulum 2013 ini. Ini adalah bentuk perbaikan dari Kurikulum 2006.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Guyonannya dari konsep ini adalah kalau ada anak baik sekali, jujur sekali, tapi nggak bisa apa-apa, bagaimana? Begitu juga sebaliknya. Siapa yang membentuk tiga potensi tadi? Seluruh mata pelajaran," jelas Nuh.
Menurut Nuh, tidak hanya mata pelajaran agama saja yang bertanggung jawab membentuk karakter siswa. Bahkan matematika maupun kimia, kata Nuh, bisa membangun karakter.
"Mereka (FSGI) bilang apa kaitan olahraga dengan religiusitas. Kalau ditarik ke belakang, dia (FSGI) melihat dari konsep sekuler. Semua pelajaran kan bisa membentuk sikap. Misalkan, ada pertanyaan apakah yang lain bisa meningkatkan ketakwaan. Kalau mau saya kejar, apa sih takwa. Seakan-akan takwa hanya untuk salat. Tapi sebenarnya menjaga keharmonisan itu bagian dari ketakwaan," kata Nuh.
Nuh mencontohkan, dengan pelajaran matematika, seorang siswa bisa memetik pelajaran mengenai pembentukan karakter mengenai bagaimana cara berpikir runtut dan terstruktur dalam setiap persoalan. Dengan matematika pula, seseorang dilatih untuk selalu jujur.
"Kalau dia dapat angka 0,2 misalnya. Dengan pembentukan sikap, maka dia tidak akan mengubah-ubah angka itu. Dia tetap jujur," ujar Nuh.
Contoh lain, pada mata pelajaran olahraga. Menurut Nuh, di mata pelajaran tersebut, nilai-nilai pembentukan karakter bisa ditanamkan. "Bisa dikaitkan dengan nilai kepatuhan terhadap rules," kata mantan Rektor ITS ini.
Penjelasan Nuh ini menjawab kritikan dari pengamat dan praktisi pendidikan yang mengkritik penilaian antara aktivitas fisik dengan kondisi mental spiritual siswa. Pengaitan ini menurut pengamat Darmaningtyas, sangat menggelikan.
"Saya kebetulan membantu merumuskan kompetensi di mata pelajaran seni dan budaya. Ada penilaian K1 (spiritual-red). Lucu sekali, seni dan budaya dikaitkan dengan religiusitas. Rumusan pelajaran itu seperti pelajaran agama. Semua berlandaskan agama. Kita jadi seperti kembali ke abad kegelapan, satu-satunya kebenaran adalah agama," kritiknya.
Kritik yang serupa juga disampaikan oleh Sekjen FSGI Retno Listyarti. Dirinya sebagai guru bingung harus menilai aspek kualitatif siswa seperti ketakwaan yang dikaitkan dengan aktivitas fisik.
"Misal olahraga bola besar harus dikaitkan dengan K1 dan K2 (sosial-red), itu ketakwaan. Bagaimaba mengukur servis bola voli dengan ketakwaan? Kami sampai bercanda ini seperti teologi. Karakter apa yang mau dibangun seperti ini? Atau seperti PKN (Pendidikan Kewarganegaraan) ada psikomotor atau praktik. Seperti demo harus dibuat simulasi. Jadi guru yang nggak mau repot menciptakan/mengarang nilai," keluh Retno.
(nwk/nrl)