Pakar psikologi politik Hamdi Muluk saat berbincang dengan detikcom, Rabu (27/8/2014) menerangkan, pasal 26 UU Pilkada menyebutkan bahwa pemilihan wakil gubernur harus atas persetujuan partai politik pengusung pasangan gubernur dan wakil gubernur terpilih. Usulan yang membawa dua nama itu selanjutnya dibawa ke sidang Paripurna DPRD.
"Ahok akan tersandera bila aturan di undang-undang menyebutkan atas persetujuan parpol," kata Hamdi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Buntut dari Pilpres kemungkinan akan sulit untuk mencapai kesepakatan. Harusnya Gerindra dan PDIP duduk bersama Ahok dan menyepakati tidak harus dari orang parpol untuk duduk di Wagub. Bu Yani bisa jadi jalan tengah," ujar Hamdi.
Terlebih lagi partai politik sudah seharusnya melihat kepentingan yang lebih luas lagi, yaitu kepentingan membangun Jakarta demi kemaslahatan bersama ketimbang bicara soal bagi kekuasaan. "Bukan lagi bicara soal kekuasaan, tapi kepentingan publik," ujarnya.
Lain hal dengan pengamat politik Andrinof Chaniago yang mengatakan, pendamping Ahok haruslah orang dari luar birokrat. Hal ini dikarenakan untuk mengimbangi akselerasi Ahok yang dinilai agresif.
"Yang dibutuhkan adalah perubahan kultur, nah kalau dari dalam, birokrat ya susah juga untuk merubah kultur," kata Andrinof.
Wagub DKI Jakarta kelak adalah orang yang mampu memiliki visi reformasi birokrasi serta orang yang mampu mengenal masyarakat Jakarta. "Jadi ada jembatan antara pemerintah dengan masyarakat Jakarta. Kalau dari dalam ya sangat birokratis orangnya," ujarnya.
(ahy/kff)