"Literatur China sudah lama diketahui di Indonesia. Penjajah Belanda dan Inggris membawa penerjemahan buku-buku filsafat dari Cina ke Indonesia sejak akhir abad ke-18. Presiden Soekarno, contohnya, sering menyebutkan pemimpin China dalam pidatonya," kata Sjafrie dalam rilis yang diterima detikcom, Selasa (26/8/2014).
Hal itu disampaikan Sjafrie dalam Simposium International ke-9 Sun Tzu'Art of War yang berlangsung pada 25-27 Agustus 2014 di Tshingtao, China, yang diselenggarakan oleh institute militer yang bergengsi di bawah pengawasan Komisi Militer Pusat China, Academy of Militery Science (AMS) PLA dan China Research Society of Sun Tzu' Art of War (CRSSTAW).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sjafrie juga memaparkan bapak bangsa lain yang menggunakan strategi perang Sun Tzu, yakni Jenderal Besar Soedirman, pemimpin perang gerilya. Pada masa perang tahun 1947-1949, gerilyawan Indonesia bertaktik untuk melawan kekuatan militer kolonial Belanda.
"Menurut Jenderal Besar Soedirman, rakyat dan tentara itu seperti air dan ikan, sesuatu yang tidak terpisahkan. Rakyat membantu melindungi pejuang gerilya, di saat yang sama bertindak sebagai mata dan telinga buat pejuang," tutur Sjafrie.
Tak hanya dalam bidang kemiliteran dan kenegaraan, strategi perang Sun Tzu di Indonesia juga diterapkan dalam sektor bisnis, seperti untuk menghindari kekuatan pesaing bisnis dan menyerang kelemahan. Strategi ini justru berbeda dengan pandangan Barat yang menyerang kekuatannya, imbasnya, ekonomi biaya tinggi untuk semua yang terlibat.
Kemudian pepatah Sun Tzu yang terkenal, 'kenalilah diri dan musuhmu, kau akan tidak diragukan lagi menang dalam seribu pertempuran' juga menjadi prinsip perang di Indonesia, di mana di masa depan, kunci memenangkan perang adalah informasi dan teknologi.
"Sun Tzu mendeskripsikan 5 faktor prinsip yang bisa digunakan untuk mempertimbangkan strategi perang. Mereka adalah: politik, cuaca, medan, kepemimpinan dan doktrin," jelas Sjafrie.
(nwk/nrl)