Pengamat: Kurikulum 2013 Menarik Kalau Gurunya Bagus, Tapi Ada yang Lucu

Pengamat: Kurikulum 2013 Menarik Kalau Gurunya Bagus, Tapi Ada yang Lucu

- detikNews
Selasa, 26 Agu 2014 12:22 WIB
Ilustrasi (Foto: dok detikcom)
Jakarta - Kurikulum 2013 beroperasi serentak di SD-SMA di tahun ajaran baru 2014. Apakah Kurikulum 2013 itu bagus? Tergantung gurunya. Namun ada hal menggelikan dari kurikulum ini.

"Kurikulum ini berbasis pada kurikulum berstandar internasional. Tematik integratif. Kalau gurunya bagus, ini sangat menarik. Ini model-model pembelajaran di sekolah-sekolah alam. Tematik integratif itu bagus tapi cocok diterapkan pada sekolah-sekolah yang sarana dan prasarananya lengkap. Kedua, gurunya mumpuni, dan murid-muridnya sudah terbiasa membaca di rumah," ujar pengamat pendidikan Darmaningtyas.

Hal itu disampaikan Darmaningtyas dalam diskusi 'Mengawal Implementasi Kurikulum 2013' di restoran Bumbu Desa, Jalan Cikini Raya, Jakarta Pusat, Selasa (26/8/2014). Hadir pula dalam diskusi ini Sekjen Forum Serikat Guru Indonesia (FSGI) Retno Listyarti serta Tuti Rumiyati dari Unit Kerja Menteri Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKMP3) Kemendikbud.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kurikulum 2013 ini, jelas Darmaningtyas, tujuannya baik. Namun sayang hanya cocok untuk level tertentu, seperti yang disebutkannya, sekolah yang sarana dan prasarananya lengkap. Hal itu berarti, sekolah menengah ke atas dan di perkotaan yang sudah mengalami kemajuan dari banyak segi.

"Bagi yang di pinggiran seperti Papua sana, yang cocok model KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan-red). Kalau seperti ini (Kurikulum 2013) tidak cocok. Bagi sekolah pinggiran atau menengah ke bawah, ini nggak jalan. Saya banyak mendapat SMS dari guru-guru," imbuhnya.

Kesulitan bagi guru dan murid di kawasan pelosok ini juga terdapat pada jam belajar. Mata pelajaran memang dikurangi, namun jam belajar yang panjang ini menyusahkan para murid yang tinggal di kawasan pelosok. Belum lagi, masih banyak sekolah yang menerapkan sistem shift karena keterbatasan gedung.

"Penambahan jam belajar, di Jakarta sendiri masih banyak sekolah shift, ada yang pagi dan siang. Di luar Jawa itu masih banyak anak-anak yang berjalan hingga 5-8 km untuk ke sekolah di tengah-tengah hutan. Kalau itu (jam belajar) ditambah, mereka akan pulang jam berapa? Itu sudah saya ingatkan," lanjut Darmaningtyas.

Jalan keluarnya, imbuhnya, bisa dengan menggunakan kurikulum ganda, misal sekolah yang sudah maju menerapkan Kurikulum 2013, namun yang di pelosok bisa memakai KTSP. "Kita bisa pakai 2 kurikulum, nggak masalah. Jakarta aja beda, kaya SMA 8 dan Taman Siswa itu kaya langit dan Bumi," paparnya.

Satu hal yang ditonjolkan dalam Kurikulum 2013, bukan cuma murid yang dituntut aktif, namun juga gurunya. Guru mesti aktif dan mencari metode pembelajaran yang kreatif dan menarik. Namun guru yang bisa aktif dan kreatif ini, dinilai tidak banyak.

"Kalau guru-guru pulang sekolah terus nonton sinetron, ya nggak akan bisa pakai kurikulum ini. Dan rata-rata guru-guru kita seperti itu. Tidak mengeksplor pengetahuannya lagi," jelas dia.

Dia juga menyoroti hasil penilaian alias rapor serta penentu kelulusan. Ujian Nasional (UN) dinilai tidak relevan menjadi parameter kelulusan di saat kreativitas, karakter dan perilaku juga masuk dalam penilaian.

"Ini ada inkonsistensi. Kan semangatnya menumbuhkan manusia pembelajar. Standarnya murid mengamati, bertanya, membuat laporan. Maka seharusnya standar penilaiannya adalah portofolio. Guru mengamati murid dari masuk hingga keluar. Tapi ini standar kelulusannya adalah UN.
Saya sudah mengingatkan tapi Wamendikbud bilang ada PP 19/2005 (tentang Standar Nasional Pendidikan). Tapi ternyata UN tetap ada," paparnya.

Ada beberapa hal di dalam Kurikulum 2013 ini tentang penilaian yang mengkaitkan aktivitas fisik dengan kondisi spiritual siswa. Pengaitan ini menurut Darmaningtyas, sangat menggelikan.

"Saya kebetulan membantu merumuskan kompetensi di mata pelajaran seni dan budaya. Ada penilaian K1 (spiritual-red). Lucu sekali, seni dan budaya dikaitkan dengan religiusitas. Rumusan pelajaran itu seperti pelajaran agama. Semua berlandaskan agama. Kita jadi seperti kembali ke abad kegelapan, satu-satunya kebenaran adalah agama," kritiknya.

Kritik yang serupa juga disampaikan oleh Sekjen FSGI Retno Listyarti. Dirinya sebagai guru bingung harus menilai aspek kualitatif siswa seperti ketakwaan yang dikaitkan dengan aktivitas fisik.

"Misal olahraga bola besar harus dikaitkan dengan K1 dan K2 (sosial-red), itu ketakwaan. Bagaimaba mengukur servis bola voli dengan ketakwaan? Kami sampai bercanda ini seperti teologi. Karakter apa yang mau dibangun seperti ini? Atau seperti PKN (Pendidikan Kewarganegaraan) ada psikomotor atau praktik. Seperti demo harus dibuat simulasi. Jadi guru yang nggak mau repot menciptakan/mengarang nilai," keluh Retno.

(nwk/nrl)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads