"Surat edaran itu tidak dikenal dalam ranah hukum. KPU berwenang dalam 2 hal, yaitu buat peraturan dan buat keputusan. Oleh karena itu, ini persoalan serius dan bisa dipidanakan juga," ujar Eggi kepada wartawan di Gedung Bawaslu, Jl MH Thamrin, Jakarta Pusat, Senin (4/8/2014).
Eggi mengacu pada UU Nomor 15 Tahun 2011 tentang kewenangan KPU. Baginya, dalam undang-undang tersebut tidak disebutkan KPU berhak mengeluarkan surat edaran, terlebih untuk membuka kotak suara.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kami yang menerima undangan itu menyatakan keberatan saksi. Kalau orang keberatan jangan dipaksa dong. Kedua, surat undangan itu masuknya sudah lewat waktu dalam konteks KPU mau periksa ulang. Misal tanggal 30 Juli, suratnya baru masuk tanggal 1 Agustus. Kenapa KPU memaksakan diri membuka juga?" protes pria yang mengenakan batik bercorak warna hijau dan hitam ini.
"Harusnya nggak dong kok penyelenggara kayak jagoan preman. Serius etikanya di situ," lanjut Eggi.
Dirinya berharap DKPP dapat berlaku jujur dan adil dengan memecat KPU terkait dugaan kecurangan yang dilakukannya. Apabila DKPP tidak dapat menindak tegas, maka kemarahan rakyat akan menghantuinya akibat kekecewaan yang ditimbulkan lembaga tertinggi dalam menangani pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu.
"Artinya, DKPP tidak bekerja dengan jujur dan adil. Tunggu saja kemarahan rakyat karena puluhan juta orang yang dikorbankan sudah memilih yang terhormat dan dilecehkan saja," tutupnya.
(aws/ndr)