"Menurut saya nggak ada penataran guru-guru Kurikulum 2013 yang mengarah ke (aspek) kognitif, afektif dan psikomotor sudah ideal. Jangan diganti-ganti lagi. UN juga sudah benar karena UN sudah memperhitungkan kekuatan sekolah masing-masing (di tiap daerah)," ujar Arief saat dihubungi, Senin (30/6/2014).
Guru Besar di Universitas Negeri Jakarta ini menjelaskan ada alasan di balik perbedaan pandangan dengan mantan wakil presiden era Presiden SBY mengenai standar nilai UN. Arief mengaku tidak setuju dengan pendapat JK yang menginginkan syarat kelulusan UN menggunakan standar nilai mutlak.
"Dulu saya rada musuhan dengan Pak JK (karena dia) membuat standar mutlak, padahal nggak boleh. Karena menguji anak itu harus dengan standar normal. Tidak benar pakai (syarat nilai) ujian mutlak. Itulah sebabnya Hatta menanyakan," lanjutnya.
Dalam debat, Minggu (29/6), JK menjelaskan, setiap tahun sistem UN mengalami pengubahan disesuaikan dengan keadaan di lapangan. Jenis soal yang awalnya hanya satu terpaksa diubah karena banyaknya siswa yang menyontek kemudian dibuat menjadi 20 jenis.
Menurutnya, UN tetap penting untuk melakukan pemetaan di bidang pendidikan. Apalagi Indonesia merupakan negara kepulauan yang rentan akan kesenjangan sosial jika tidak ada pemetaan.
"Bagaimana kesenjangan di daerah-daerah akan kita hilangkan kalau tidak ada pemetaan, pemetaan tidak ada kalau tidak ada UN," tuturnya.
(aws/trq)











































