Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indo Barometer, M Qodari mengatakan pada pemilu 2009 lalu, Golkar berkoalisi dengan Hanura. Saat itu menurutnya, Golkar dan Hanura mengusung duet Jusuf Kalla (JK)-Wiranto.
"Ical harus belajar dari pengalaman 2009, JK pasangan dengan Wiranto. JK jadi capres karena suara Golkar lebih besar daripada Hanura. Padahal elektabilitas Wiranto lebih besar dari JK. Akhirnya kalah," kata Qodari kepada detikcom, Jumat (2/5/2014).
Menurut Qodari, tidak tertutup kemungkinan Golkar dan Gerindra berkoalisi di putaran pertama pilpres. Syaratnya, asal ada yang mau mengalah untuk menjadi cawapres. Pertanyaannya, siapa yang harus menjadi cawapres? Jika bersandar pada suara partai, maka Ical sebagai capres dan Prabowo wakilnya. Tapi jika patokannya elektabilitas pribadi, maka Prabowo menjadi capres, sementara Ical menjadi wakilnya.
Sebab, lanjut dia, dalam pilpres yang jadi variabel utama adalah elektabilitas pribadi, bukan elektabilitas partai. Meskipun berdasarkan hitung cepat suara Golkar lebih tinggi dari Gerindra, namun kenyataannya elektabilitas Ical berdasarkan survei masih jauh di bawah Prabowo Subianto.
"Tapi tentu di sini membutuhkan dukungan dari pengurus Golkar. Mungkin di sini bisa terjadi perdebatan internal. Yang jelas, gabungan Gerindra-Golkar sudah cukup memenuhi syarat pencapresan menurut UU," tuturnya.
(rmd/brn)