"Di masa yang akan datang, disaat energi fosil diperkirakan akan habis pada tahun 2043 dan digantikan dengan bio energi, sasaran konflik akan mengarah pada lokasi sumber pangan yang sekaligus merupakan sumber energi. NKRI sebagai salah satu negara ekuator yang memiliki potensi vegetasi sepanjang tahun akan menjadi arena persaingan kepentingan nasional berbagai negara dunia," kata Gatot dalam kuliah umumnya pada Rabu (30/4), seperti disampaikan Penkostrad di siaran pers, Jumat (2/5/2014).
Hadir pada kuliah umum tersebut Rektor ITB Prof. Dr. Akhmaloka yang diwakili Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan ITB Prof. Dr.Ir. Kadarsah Suryadi, Wakil Rektor Bidang Komunikasi, Kemitraan, dan Alumni ITB Prof.Dr.Ir. Hasanuddin Z. Abidin, M.Sc, Dekan Sekolah Farmasi Prof. Dr. Daryono Hadi Tj. Apt.,M.Si, para Asisten Kaskostrad, Kepala Penerangan Kostrad dan segenap civitas akademi ITB temasuk ratusan mahasiswa dari berbagai jurusan.
"Untuk itu, diperlukan langkah antisipasi dan persiapan yang matang agar bangsa Indonesia mampu menjamin tetap tegaknya keutuhan dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945," tambah Gatot.
Gatot menyampaikan, dengan bertambah pesatnya populasi penduduk dunia yang tidak diimbangi dengan ketersediaan pangan, air bersih dan energi akan menjadi pemicu munculnya konflik-konflik baru. Dengan adanya tuntutan kepentingan kelompok telah menciptakan perang-perang jenis baru diantaranya perang asimetris, perang hibrida dan perang proxy sehingga dewasa ini kemungkinan terjadinya perang konvensional antar dua negara semakin kecil.
"Perang Proxy atau Proxy War merupakan perang antara dua pihak yang tidak saling berhadap-hadapan namun menggunakan pihak ketiga untuk mengalahkan musuh. Perang proxy tidak dapat dikenali secara jelas siapa kawan dan siapa lawan karena musuh menggunakan dan mengendalikan aktor bukan negara (non state actor). Indikasi adanya Proxy War diantaranya adalah Gerakan separatis, demonstrasi massa dan bentrok antar kelompok," urai dia.
Menurut Gatot juga, pemuda Indonesia sebagai tulang punggung bangsa harus menyadari bermacam tantangan dan ancaman bangsa tersebut untuk kemudian bersatu padu dan bersinergi menjaga keselamatan bangsa dan negara demi generasi mendatang. Sejumlah aksi yang dapat dilakukan oleh mahasiswa untuk menangkal proxy war diantaranya dengan selalu mengidentifikasi dan mengenali masalah, ahli dalam bidang disiplin ilmu masing-masing, melakukan gerakan pemuda berbasis wirausaha, dan mengadakan komunitas belajar serta merintis program pembangunan karakter.
"Intinya yang terbaik adalah "Back to basic", mengerti bahwa cinta dan peduli akan kepentingan negara harus menjadi kepentingan tertinggi diatas kepentingan segala-galanya. Dengan demikian, para mahasiswa dapat menjadi warrior-warrior dalam proxy war sekaligus pengawal bangsa ini dengan bertindak sebagai agen perubahan," tutup dia.
(nal/ndr)