Wacana Jokowi-JK mendapat sorotan publik. Meski JK populer dalam sejumlah survei sebagai cawapres terkuat, namun komposisi kedua tokoh ini dinilai tak akan dapat beriringan jika lolos menjadi presiden dan wakil presiden. Pasalnya, kedua tokoh ini memiliki karakter yang relatif sama: pengusaha, keputusan cepat, dan gemar blusukan. Belum lagi faktor senioritas JK atas Jokowi.
Apakah duet Jokowi-JK bak 'matahari kembar'?
Menurut pakar komunikasi politik Universitas Padjajaran, Dr Lely Arianie, keduanya memiliki kapasitas menjawab keraguan publik terhadap pengalaman politik Jokowi yang masih dianggap mikro, sementara JK dinilai punya kapasitas mengelola sistem dan relasi yang lebih makro serta bisa menjalin dinamika transparansi dan pengambilan sikap dalam bentuk ketegasan dan kesantunan politik.
Meski sebagian publik meragukan batasan usia dan sikap santun jokowi, yang sering disalahartikan sebagai orang yang justru akan dikendalikan, Lely menjawab sebaliknya. Menurut dia, Jokowi justru memperlihatkan sikap politiknya yang terpisah dari kesantunan politik, jika harus berhadapkan dengan figur yang dianggapnya dihormati, sehingga tidak akan ada matahari kembar.
"Inilah yang menjawab sekaligus memprediksi, andai mereka menjadi pemenang, yang bisa mengajarkan, menampilkan dan bahkan mengkritik relasi politik serta mampu menjawab empati publik," ujar Lely kepada detikcom, Rabu (30/4/2014).
Lely juga menyoroti dinamika gerilya politik yang dilakukan parpol-parpol untuk mencari mitra koalisi. Satu hal penting yang ditekankan Lely, tiga parpol besar berdasarkan quick count harus bisa menghitung ulang peta politiknya pasca pileg, termasuk dalam menentukan kawan koalisi.
Dia mengatakan parpol pemenang pemilu harus memikirkan koalisi dengan dua strategi yakni koalisi sebelum pencapresan yang bertujuan untuk memenangkan pilpres dan koalisi pasca pilpres yg dimaksudkan agar pemerintahan yang dibangun mendapat dukungan parlemen.
"Yang terpenting dari proses penentuan arah koalisi adalah tidak lagi bersandar pada kepentingan politik pragmatis, meski proses semacam itu sangat sulit untuk ditiadakan," imbuhnya.
(rmd/ndr)