Menurut dia, dibandingkan lima tahun lalu, penyelenggaraan Pemilu kali ini terkendala di sistem suara terbanyak dan rekapitulasi perhitungannya yang lebih lamban. "Kalau 2009 kan dari TPS kan langsung ke Kecamatan. Nah, kalau sekarang perhitungannya makin ribet dari TPS, ke desa ke PPS, PPK terus ke Kecamatan baru ke Kabupaten. Nah, ini aja bisa lima hari nginep lebih lama. Makanya di tingkat PPS, Kecamatan itu banyak masalah," kata Jimly.
Jimly mengatakan itu di sela-sela acara dikusi dan peluncuran buku 'Menakar Presidensialisme Multipartai di Indonesia' di Aula Nurcholish Madjid, Universitas Paramadina, Jumat (25/4/2014).
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu menambahkan karena lamanya tahapan perhitungan rekapitulasi suara itu menimbulkan berbagai kecurangan. Dia menyebut kalau calon legislator sekarang banyak belajar secara negatif dari pengalaman dalam penyelenggaraan Pemilu daerah. Artinya, celah-celah kecurangan dimanfaatkan caleg untuk memengkan suara di daerah pemilihannya dengan money politic atau akal-akalan pencoblosan surat suara sebelum Pemilu.
"Laporan dari Sabang sampai Merauke itu banyak sekali. Dua faktor itu penyebabnya, pertama sistem suara terbanyak dan perhitungan rekapitulasi yang lamban terlalu birokrasi. Harusnya lima tahun lalu dijadikan pembelajaran agar Undang-Undang buat Pemilu sekarang lebih efektif, efisien. Bukannya malah tambah ribet," sebutnya.
Meski termasuk berjalan lancar, Jimly melihat keberuntungan Pemilu tahun ini karena keberadaan banyak lembaga yang mengadakan quick count (perhitungan cepat). Hal ini membantu sistem lambannya perhitungan suara yang juga banyak masalah seperti pencoblosan ulang hingga penghilangan surat suara.
"Iya, aman karena terbantu quik count. Cuma yang di bawah itu parah banyak sekali laporan masalahnya," ujar Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia itu.
(hat/jor)