Terik matahari tak dihiraukan oleh Rustam yang menanti kereta yang akan lewat itu. Lima menit kemudian, rangkaian kereta barang melintas, suara terompet menggema, tapi Rustam tetap berdiri di depan gubuknya yang hanya berjarak 50 cm dari badan kereta itu. Ia adalah salah satu penghuni gubuk yang berada di bantaran rel di kawasan Tanah Tinggi, Senen, Jakarta Pusat, yang ditemui detikcom pada Minggu (20/4/2014) lalu.
"Saya dari kecil di sini, dari ngamen sampai gelandangan semua sudah saya alami. Sampai sekarang, saya jadi nelayan dan harus tinggalin istri 3 bulan, ini saya baru pulang dari Muara Baru, Jakut," kata pria yang lahir di Jakarta itu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tapi ya cuma tripleks. Sama kandang ayam juga gedean kandang ayam. Saya terus terang saja begini, yang ada ini buat berbagi, dan nasibnya sudah begini mau diapain," kata Rustam.
Kehidupannya di bantaran rel bukan hal yang ia pilih, namun harus ia jalani karena beragam keterbatasan. Sehingga ia tinggal bersama keluarganya, dan keluarga istrinya, saling bertetangga. Selain itu, belasan gubuk lainnya juga dihuni oleh teman-temannya. Anak-anaknya pun kerap bermain di rel di depan gubuknya.
"Saya sih ada rasa takut (anak bermain di rel), ya masih ada yang jagain tetangga, kadang mertua, tinggal di sini juga. Makanya orang-orang situ sudah hapal saya semua," ujar Rustam sambil memandang ke gedung tinggi di kawasan Senen.
Rustam tinggal di bantaran rel sejak orangtuanya masih kecil. Ia pun kerap merasakan kerasnya ibu kota, namun ia tetap bertahan. Kemudian ia mengungkapkan, pada zaman pemerintahan Soeharto dirasakannya sebagai masa yang paling enak karena harga barang murah. Namun penggusuran dan intimidasi terhadap orang-orang yang tinggal dibantaran rel selalu terjadi.
"Gembel sekarang enak, kalau digusur ada pemberitahuan, lalu sudah ada lampu. Dulu zaman Soeharto tinggal main gusur saja tanpa pemberitahuan, sampai berantem pernah. Dulu waktu nggak ada listrik pakai lampu minyak, pagi-pagi pada cemong semua," ujar Rustam.
Cukup lama Rustam mengamen untuk mendapatkan sesuap nasi, tak jarang hasil ngamen ia sisihkan sebagian untuk orangtuanya. Ia mengamen sejak tahun 2000, kemudian ia juga memulung botol plastik bekas. Rustam pun pernah merasakan dinginnya sel penjara karena suatu kasus yang tak ingin ia ingat kembali. Ia teringat saat anaknya ditanya oleh seseorang mengenai pekerjaannya, dan anaknya menjawab soal pekerjaan yang membuat Rustam dipenjara beberapa tahun lalu.
"Saya kaget dan malu, lalu saya mulai berpikir untuk mengubah pekerjaan saya. Lalu ada yang ajak untuk melaut jadi nelayan, saya ikut dan ketika pulang anak saya menjawab 'Bapak kerja kapal'," kata Rustam dengan mata berkaca-kaca.
Bersama istrinya, Rustam berupaya untuk memperbaiki kehidupan keluarganya, keluar dari kecemasan digusur sewaktu-waktu oleh PT KAI, dan dari lingkungan yang sangat tidak baik untuk tumbuh kembang anaknya. Ia yakin keluarganya tak lama lagi meninggalkan gubuk kecil di bantaran rel, tempatnya kini.
"Yang penting orangtuanya begini ya anaknya jangan begini lagi, yang penting anaknya bisa lebih baik. Ya gimana kehendak Allah aja, yang penting saya berusaha merawat dan mendidik anak saya dengan baik," tutup Rustam sambil memandang kosong besi dingin pijakan si ular besi.
Walau perjalanan hidupnya sulit, masih ada kisah romantis yang mewarnai kerasnya ibu kota yang harus dihadapi Rustam. Ia mengisahkan bagaimana cintanya bersemi bersama Ika.
"Ketemu di pasar pintu kereta, teman-teman ngledek aja, 'Noh cakep noh, udah deketin aja'. Sama dia akhirnya gitar-gitaran ngamen, sampai saya ngomong 'Kalau mau sama gue ya udah, yang penting seneng apa adanya gue. Ya kalau nggak jangan mau sama gue, kalau mau ya sama-sama susah'. Dia mau katanya, memang buat dia nggak mandang harta, yang penting kasih sayangnya," ujar Rustam.
Rustam dan Ika kemudian menghabis hari-hari mereka dengan mengamen bersama-sama sepanjang hari dari Senen hingga Blok M. Dikejar-kejar Satpol PP dan Dinas Sosial hingga tertangkap juga dialami mereka berdua.
"Bahkan saya pernah sampai nggak makan dua hari sama dia. Mau pinjam ke orangtua atau teman kan malu. Tapi saya cari terus uang supaya dia bisa makan," ujar Rustam.
(vid/trq)