"Kalau putusan anak-anak, saya detail membacanya. Saya memutuskan dengan ikhlas dan hati nurani. Saya tidak kepingin cari popularitas. Hanya ikhlas dan keadilan," kata Jurnalis saat berbincang dengan detikcom, Selasa (22/4/2014).
Tuduhan pemerkosaan itu terjadi pada 2 Agustus 2013 di sebuah desa di Cianjur, Jawa Barat. Dalam rapat RW pada 10 November 2013, Ohim menyiksa kelima anak-anak itu. Pemukulan itu dilakukan di depan orang tua anak-anak. Anehnya, Pengadilan Negeri (PN) Cianjur menghukum 2 tahun kelima anak-anak itu sebelum dibebaskan oleh Jurnalis.
"Saya biasa saja memutus seperti itu. Kok yang ini jadi heboh?" ujar Jurnalis yang telah malang melintang selama 47 tahun di dunia peradilan Indonesia.
Dalam memutus perkara yang ditanganinya, Jurnalis memeriksa dengan penuh keikhlasan dan penuh ketelitian. Dalam memutus perkara anak, seorang hakim harus bisa melihat berbagai pandangan masyarakat terhadap kasus itu.
"Bagaimana anak itu di masyarakat, di mana dia dilahirkan. Setiap perkara anak begitu dituntut kejelian," kisah hakim yang dilahirkan pada 1948 silam itu.
Dirinya sangat prihatin dengan kelima anak yang telah merasakan dinginnya sel tahanan. Sebab hal itu bisa mempengaruhi psikologi anak ke depan.
"Dipenjara, anak kecil kan bisa terganggu mentalnya. Mereka bisa trauma," ucap ibu satu anak dengan 2 cucu itu.
Di penghujung masa pensiunnya, Jurnalis berharap teman-teman hakim di seluruh Indonesia bisa terus memberikan keadilan bagi masyarakat. Dia berharap kasus lima anak yang ditanganinya itu bisa menjadi contoh bagiaman hakim harus hati-hati dan teliti dalam memutus.
"Mudah-mudahan rekan-rekan saya mengikuti yang terbaik dan memutus dengan hati nurani," pungkas Jurnalis.
(asp/try)