Sama seperti 2004, Indo Barometer memprediksi tahun ini pilihan masyarakat atas calon presiden akan didasarkan pada popularitas tokoh. Sehingga koalisi yang dibentuk oleh beberapa partai untuk mengusung capres dan cawapres belum tentu sebanding dengan suara yang akan diperoleh pada pilpres.
"Koalisi besar tidak jaminan mereka bisa menang pilpres," kata Qodari saat berbincang dengan detikcom, Senin (21/4/2014).
Qodari mencontohkan pada putaran pertama pilpres 2004 lalu, Partai Demokrat yang mengusung Susilo Bambang Yudhoyono sebagai calon presiden hanya didukung oleh Partai Bulan Bintang, dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia. Koalisi kerempeng yang merupakan gabungan tiga partai kecil ini hanya menghasilkan 11 persen dukungan suara.
Namun faktanya pasangan Yudhoyono yang disandingkan dengan Jusuf Kalla berhasil mendulang 34 persen suara. Pasangan ini berada di urutan teratas mengalahkan empat pasangan lainnya. Padahal dua pasangan lainnya, Yakni Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi, dan Wiranto-Sholahuddin Wahid didukung oleh sebuah koalisi besar.
Pasangan Yudhoyono-Jusuf Kalla, dan Megawati-Hasyim melenggang ke putaran kedua. Lagi-lagi koalisi kerempeng harus berhadapan dengan koalisi besar.
Yudhoyono-Jusuf Kalla hanya mendapat tambahan dukungan dari Partai Keadilan Sejahtera, sehingga total dukungan suara ke pasangan ini hanya 17 persen. Sementara lawannya pasangan Megawati-Hasyim mendapat dukungan tambahan dari Partai Golongan Karya.
Koalisi pendukung Yudhoyono-Kalla hanya berkekuatan 17 persen. Sementara koalisi pendukung Megawati-Hasyim sekitar 40 persen suara. Namun hasilnya Yudhoyono memenangkan pilpres dengan mendulang 60 persen suara, sementara Megawati-Hasyim harus kalah karena hanya mendapat sekitar 40 persen suara.
Pada pemilu 2004, koalisi kerempeng berhasil mengalahkan koalisi besar. Bagaimana dengan tahun ini?
(erd/van)