Nampak paling beda sendiri seorang penarik becak bernama Teng San (52) di antara penarik becak yang lain. Sebuah helm kuning tersemat di kepalanya demi keselamatan, sementara yang lain tak memakai pelindung apapun.
“Saya jadi ingat zaman Pak Harto dulu waktu orang-orang seperti saya seperti didiskriminasi. Kita sering tidak mendapat tempat di mana-mana. Saya akui memang harga-harga jauh lebih murah zaman itu, tapi kita seperti direpresi sana sini,” ungkap Teng San di akhir sore, Senin (14/4/2014).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Karena tinggal sama-sama di sini jadinya ya kita diamanin begitu, jadi tidak sampai dijarah atau diapain seperti di TV waktu itu,” imbuh Teng San.
Teng San pun kemudian berpikir bahwa kesetiakawanan lingkungan yang telah menyelamatkan dirinya. Lingkungan itu pula yang telah membesarkan dia sejak masa kanak-kanak.
“Lingkungan saya main dari kecil itu kebanyakan beragama Islam, jadi saya memang sedikit banyak belajar agama Islam. Akhirnya tahun 1998 itu saya masuk Islam dan mengganti nama jadi Zainudin,” tutur Teng San.
Namun meski telah menjadi bagian dari agama mayoritas di Indonesia tak lantas membuat Teng San berlaku diskriminatif. Dia tak ingin mengulang kesalahan yang menyebabkan kaumnya trauma.
“Saya juga masih bergaul sama teman-teman saya yang Buddhis, tidak ada halangan yang mengharuskan saya membatasi pergaualan. Saya memang sudah tidak merayakan imlek, tapi tiap kali saya datang kalau mendapat undangan,” sebut Teng San.
Perbedaan menurut Teng San bukanlah hal yang perlu ditonjol-tonjolkan. Ada persamaan diantara perbedaan itu, seperti becak yang sama-sama memiliki roda tiga meski warnanya bermacam-macam.
(bpn/trq)