Tewasnya Romadi Si Preman Kampung: Antara Dianiaya, Dibunuh atau Terbunuh

Tewasnya Romadi Si Preman Kampung: Antara Dianiaya, Dibunuh atau Terbunuh

- detikNews
Senin, 21 Apr 2014 09:30 WIB
Jakarta - Matinya Romadi disyukuri warga Kebumen, Jawa Tengah, dan meminta Ariyadi yang menang duel maut dengan Romadi dibebaskan. Pengadilan tingkat pertama menilai Ariyadi berkelahi dengan Romadi, tapi di tingkat banding Ariyadi dinilai membunuh Romadi.

Kasus bermula saat Ariyadi dan Romadi bertemu di areal persawahan Dukuh Lengkoro I, RT 2/IV Desa Babatsari, Kotawinangun, Kebumen pada 23 Juli 2013. Dalam pertemuan itu, terjadi percekcokan mulut soal tanaman sawi. Lantas keduanya terlibat perkelahian.

Ariyadi sendiri membawa golok karena tengah berada di ladang. Di desa itu, sudah lazim orang yang ke ladang membawa golok. Maka terjadilah perebutan golok dan dimenangkan Ariyadi. Golok yang sudah ditangan Ariyadi lalu dipakai untuk membacok Romadi dan meninggal dunia. Merasa bersalah, Ariyadi serta merta langsung menyerahkan diri ke aparat kepolisian setempat.

Saat perkara itu masuk ke pengadilan, dukungan masyarakat supaya Ariyadi diberikan hukuman ringan berdatangan. Warga Desa Babatsari malah bersyukur dengan meninggalnya Romadi. Hal ini tertuang dalam surat pernyataan warga yang meminta majelis hakim supaya memberikan hukuman ringan ke Ariyadi.

Aspirasi masyarakat itu dilatarbelakangi Ariyadi sebagai sosok yang baik hati, sedangkan Romadi adalah orang yang tidak disukai masyarakat karena tingkahnya yang tidak baik.

Semasa hidupnya, Romadi dikenal sebagai biang kerok di desanya. Dari tidak mau bayar pajak, tidak mau ronda, tidak membayar buruh, suka merusak tanaman warga di ladang hingga mempermasalahkan status hukum tanah warga ke pengadilan. Puncaknya warga menolak jenazah Romadi dimakamkan di desanya.

Fakta-fakta di atas ternyata memecah belah pandangan hakim. Pengadilan Negeri (PN) Kebumen menyatakan Ariyadi tidak membunuh Romadi, tetapi hanya menganiaya karena dilatarbelakangi perkelahian dan menjatuhkan hukuman 6 tahun. Ada pun Pengadilan Tinggi (PT) Semarang menilai sebaliknya, tiga hakim tinggi menyatakan Ariyadi adalah pembunuh.

Majelis tinggi menilai perbuatan Ariyadi merupakan kesengajaan sebagai kesadaran akan kemungkinan. Di mana perbuatan terdakwa memang tidak secara langsung bertujuan untuk mencapai akibat yang menjadi dasar dari delik pembunuhan, tetapi melalui cara terdakwa melakukan perbuatannya dengan membacokkan ke bagian-bagian tertentu pada tubuh korban yang rawan menyebabkan kematian.

Lebih-lebih ketika terdakwa membacokan bendo yang pertama kali mengenai bagian bahu kiri korban, lalu terdakwa menjauh dan tidak mengakhiri perbuatannya dan justru berusaha menyeruduk dan terdakwa membacokan lagi ke arah korban dengan membabi buta ke sekitar anggota tubuh korban di bagian lengan dan kepala.

"Sehingga terdakwa mestinya sudah mengetahui dan insaf bahwa korban yang sudah terluka cukup parah, namun terdakwa justru mengulangi pembacokan ke arah korban mengenai bagian tubuh korban yang sangat rawan sehingga menyebabkan korban meninggal dunia. Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, unsur dengan sengaja merampas nyawa orang lain, menurut majelis tingkat banding telah terpenuhi," putus ketua majelis hakim Suroso dengan anggota Sularso dan Sumanto yang dilansir website Mahkamah Agung (MA) seperti dikutip detikcom, Senin (21/4/2014).

Atas dasar pertimbangan tersebut, Ariyadi dinilai sebagai pembunuh dan diancam dengan pasal 338 KUHP dengan ancaman maksimal 15 tahun penjara. Oleh jaksa, Ariyadi dituntut 8 tahun penjara dan dikabulkan PT Semarang.

"Mengadili, menyatakan Ariyadi bin Saring telah bersalah melakukan tindak pidana pembunuhan. Memidana dengan pidana penjara selama 8 tahun," putus majeils banding yang diketok pada 6 Maret 2014 lalu.

(asp/trq)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads