14 Persen Terumbu Karang Dunia Ada di RI, Tapi Terancam Rusak karena Manusia

14 Persen Terumbu Karang Dunia Ada di RI, Tapi Terancam Rusak karena Manusia

- detikNews
Kamis, 17 Apr 2014 13:18 WIB
Jakarta - Selain pengamatan serta riset, upaya penyelamatan terumbu karang perlu mengajak masyarakat pesisir agar melakukan aktivitas yang bisa melestarikan sumber daya ekologis. Selama ini, yang terjadi masyarakat pesisir mencari ikan dengan merusak terumbu karang.

Peneliti senior Peneliti Pusat Penelitian Oseanografi LIPI Suharsono mengatakan selain kerusakan karena mencari ikan dengan bom dan bius, masyarakat pesisir menggunakan terumbu karang sebagai bahan bangunan.

"Nomor satu masih kerusakan karena bom karena mencari ikan. Banyak juga yang mengambil terumbu karang buat bahan bangunan. Kesadaran masyarakat ini masih lemah," ujar Harsono di Media Center, Gedung SWS, LIPI, Kamis (17/4).

Menurutnya, permasalahan utama dalam pelestarian alam yakni soal pengelolaan sumber daya manusia. Dibandingkan karena alam, kerusakan karena aktivitas manusia membuat terumbu karang sulit diperbaiki ekosistemnya.

Dia pun merincikan beberapa upaya yang mesti dilakukan untuk penyelamatan terumbu karang. Masyarakat harus diberdayakan dengan penyertaan lembaga di daerah. Sejauh ini, hampir tidak ada lembaga khusus yang berwenang untuk memonitoring terumbu karang. Hal penting lainnya yaitu penegakan hukum untuk memberikan kesadaran masyarakat.

"Kalau hukum tidak ditegakan, masyarakat enggak sadar ya sudah lestarikan terumbu karang. Kalau enggak seperti itu enggak akan selesai," ujar pria yang meneliti terumbu karang sejak 1981 itu.

Dia mengingatkan secara ekologis, terumbu karang berperan sebagai pembersih air laut yang kotor, peredam pemanasan global, tempat bereproduksi biologis hewan laut, hingga pelindung pantai dari hempasan ombak. Ditambahkannya, kalau Indonesia merupakan negara tropis yang memiliki jumlah terumbu karang terbesar di dunia. Dia menyebutkan kalau 14 persen dari total terumbu karang di dunia berada di Indonesia.

"Negara kita itu diperhatiin karena punya terumbu karang. Negara tropis itu punya ekosistem terumbu karang yang potensial. Ini harus dilihat," ujarnya.

Adapun Peneliti Puslit Kependudukan LIPI Deny Hidayati mengatakan lebih 50 persen masyarakat tinggal di pesisir dan menggantungkan hidup dari sumbar daya laut. Persoalan ini yang mempengaruhi kerusakan ekologis laut seperti terumbu karang.

"Mereka juga dari pendidikan masih rendah sehingga belum paham pelestarian laut itu sendiri," ujar Deny.

Dia mengatakan seharusnya ada political will pemerintah yang membuat prioritas pendidikan pesisir dan kelautan. Selama ini, Pemerintah terutama Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan belum menjadikan pesisir serta kelautan masuk dalam kurikulum pendidikan. Padahal, meningkatkan kesadaran diperlukan pendidikan sejak dini kepada masyarakat.

Keberadaan Kementerian Kelautan sejak Presiden Abdurahman Wahid dinilainya belum bisa maksimal memberikan edukasi soal laut ke masyarakat. "Harusnya kalau bisa seperti itu. Cuma kan nggak bisa main loncat. Ini mesti dari Kemendikbud yang punya wewenang. Kalau mulai dari SD, SMP sudah dipahami, bisa pemahaman laut tahu," sebutnya.

Selain itu, kualitas sumber daya pengajar juga masih rendah terkait pengetahuan kelautan. Padahal, sebagai negara kepulauan dan maritim, sumber daya guru ini penting untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat. LIPI sendiri untuk menunjang sosialisasi pengetahuan masyarakat, sudah membuat lebih dari 80 ribu buku untuk tingkat SD sampai SMA. Buku ini juga panduan untuk staf pengajar guru.

"Kami sudah tunjang itu. Soal terumbu karang dan lain-lain. Ini buat masyarakat juga agar tahu. Katanya nenek moyang kita seorang pelaut. Tapi, generasi mudanya masih minim pengetahuan soal laut," jelasnya.

(hat/ndr)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads