Menolak Golput di Pilpres
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Menolak Golput di Pilpres

Rabu, 16 Apr 2014 15:04 WIB
Otjih Sewandarijatun
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Jakarta - Pemilu legislatif telah usai dan tinggal menanti rekapitulasi suara akhir yang akan segera diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum. Meski demikian, gambaran sementara perolehan suara partai-partai telah dapat diketahui publik melalui hasil quick qount yang diselenggarakan oleh sejumlah lembaga survei.

Sebagaimana diprediksi sebelumnya, PDIP keluar sebagai partai dengan suara terbanyak, disusul Golkar, Gerindra, Demokrat dan seterusnya. Komposisi suara partai-partai tersebut kembali menunjukan bahwa tidak ada partai yang memperoleh suara mayoritas guna membentuk pemerintahan tunggal melalui pilpres yang akan segera dijelang.

Selain hasil sementara pemilu legislatif yang telah dirilis lembaga survei, hal penting yang juga perlu mendapat perhatian adalah melesetnya sejumlah prediksi para pengamat yang mengatakan bahwa angka Golput akan mengalami lonjakan drastis hingga partisipasi pemilih dalam pileg diperkirakan hanya akan mencapai 60%. Angka sementara versi quick count meski bervariatif menunjukan partisipasi pemilih berada dalam kisaran 70-75%. Angka ini menunjukan bahwa kesadaran politik masyarakat untuk berpartisipasi dalam pemilu mulai meningkat dan melihat bahwa keikutsertaan dalam pemilu merupakan wujud tanggungjawab warga negara untuk turut serta membangun masa depan politik negaranya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Angka partisipasi politik yang bertahan pada kisaran 70-75% memang perlu ditingkatkan kembali. Namun setidaknya gambaran partisipasi pemilih dalam pemilu legislatif telah membangkitkan optimisme di tengah kekhawatiran penurunan partisipasi pemilu secara drastis sejak tahun 1999 hingga 2009. Meski demikian, kita tidak boleh menutup mata bahwa ada sejumlah hal yang perlu dibenahi dalam pelaksanaan pemilu terutama menyangkut aspek logistik pemilu di mana terjadi surat suara yang tertukar, keterlambatan distribusi, politik uang, serta persoalan netralitas penyelenggara pemilu.

Secara kuantitatif maupun kualitatif memang persoalan pemilu yang terjadi tidak terlalu signifikan mengingat kompleksitas pemilu Indonesia sebagai negara ketiga terbesar di dunia yang menyelenggarakan pemilu demokratis dengan jumlah pemilih yang mencapai 185 juta pemilih, serta ribuan tempat pemungutan suara. Namun, hal tersebut tetap perlu direspon guna perbaikan dalam penyelenggaraan pilpres agar semakin berkualitas dan dapat menjadi ajang bagi rakyat untuk mengartikulasikan pilihan politiknya memilih kader terbaik bangsa untuk duduk sebagai Presiden dan Wakil Presiden periode 2014-2019.

Golput Ancaman Demokrasi

Bagi mereka yang mendukung golput seringkali berdalih bahwa golput merupakan hak politik yang dijamin oleh konstitusi. Bahkan, golput dianggap sebagai bentuk koreksi terhadap sistem politik.

Argumentasi semacam itu tentu bisa diperdebatkan baik secara politik maupun yuridis. Secara politis, golput merupakan sikap pasif tidak menggunakan kesempatan untuk memberikan suara dalam pemilu. Sikap ini dengan demikian menghilangkan kesempatannya sebagai warga negara untuk membuat penilaian kritis dalam keputusan politik untuk menentukan orang-orang yang dianggap cakap dan layak menduduki kekuasaan.

Sikap golput sama saja dengan memberi legitimasi dan cek kosong pada mereka yang akan berkuasa. Karena itu, dilihat dalam konteks azas manfaat maka golput sama sekali tidak memberikan manfaat bagi perbaikan dan kepentingan bangsa. Golput justru akan memberi kesempatan pada para politisi yang tidak cakap lolos dari hukuman rakyat karena mereka yang golput tidak memanfaatkan kesempatan untuk memberi dukungan pada orang-orang yang cakap menduduki kursi kekuasaan.

Golput juga dapat dimaknai sebagai pengabaian kewajiban konstitusional warga negara untuk berperan aktif dalam upaya-upaya pembangunan politik negara. Suara setiap warga negara yang diwujudkan dalam tindakan memilih para wakil rakyat, maupun kepala pemerintahan, terutama capres dan cawapres dalam Pilpres 9 Juli 2014 kelak merupakan sarana bagi warga negara untuk turut serta membangun bangsanya.

Hanya mereka yang menggunakan hak pilihnya yang memiliki kedaulatan politik untuk menilai, memutuskan sekaligus menghukum mereka yang dianggap memenuhi kehendak rakyat ataupun mereka yang sebaliknya tidak sesuai dengan kehendak rakyat. Mereka yang dinilai oleh rakyat tepat sesuai dengan aspirasinya maka akan mendapat mandat berupa dukungan suara guna mengantarkannya pada kursi kekuasaan dan menjalankan aspirasi masyarakatnya.

Suara rakyat dalam pilpres karena itu menjadi penting karena tidak hanya sekedar memberi legitimasi kekuasaan semata, tetapi juga menunjukan bahwa rakyat betul-betul telah melaksanakan wujud kedaulatan politiknya secara sadar dan membuat penilaian secara kritis terhadap para capres/cawapres yang akan berkompetisi dalam Pilpres.

Keikutsertaan dalam Pilpres melalui tindakan memilih dengan demikian juga mengkonfirmasi bahwa proses demokrasi telah berjalan dengan baik. Sebagaimana Robert Dahl (On Democracy, 1998) jelaskan bahwa salah satu aspek penting dalam demokrasi adalah partisipasi warga negara dalam pemilu. Karena itu, tindakan golput merupakan ancaman mendasar dari demokrasi itu sendiri dan tindakan yang tidak bertanggungjawab sebagai warga negara yang baik.
Β 
Partisipasi Kritis

Kualitas Pilpres tentu akan dipengaruhi oleh berbagai hal selain persoalan menekan angka golput. Profesionalitas penyelenggara pemilu sehingga persoalan logistik pilpres, ketepatan tahapan pilpres, netralitas penyelenggara menjadi penting.

Faktor lain yang juga cukup krusial adalah peranan partai-partai politik pengusung pasangan capres dan cawapres untuk memanfaatkan momentum pilpres tidak hanya sebagai ajang mencari legitimasi kekuasaan, tetapi juga menjadi momentum pendidikan politik bagi rakyat. Hal itu hanya dapat dilakukan jika partai-partai itu tidak hanya mentaati aturan undang-undang Pilpres, tetapi juga menunjukkan kualitas perilaku politiknya dalam persaingan kampanye merebut hati rakyat. Ide dan gagasan brilian tentang pembangunan bangsa harus dikedepankan dibandingkan kampanye hitam yang tidak mendidik rakyat atau bahkan membeli suara rakyat dengan money politic.

Para kandidat yang akan berlaga dalam pilpres karenanya akan mendapatkan momentum untuk menunjukan kualitas personalnya sebagai calon pemimpin dari 250 juta rakyat Indonesia. Pesona dan citra tidak akan lagi menjadi sarana yang efektif karena rakyat akan melihat secara cerdas siapa calon pemimpinnya yang akan dipilih dalam pilpres. Saatnya bagi para capres/cawapres untuk beradu visi, misi dan kualitas individual yang dimilikinya sehingga dapat meyakinkan rakyat bahwa merekalah yang layak untuk mendapat mandat memimpin Indonesia selama lima tahun ke depan.

Karena itu, dalam menyongsong Pilpres ini maka saatnya bagi masyarakat untuk turut serta mengawasi, menilai dan membuat kriteria-kriteria bagi keputusan politik yang akan segera diambil 9 Juli 2014 mendatang. Partisipasi masyarakat dengan mengawasi proses penyelenggaraan Pilpres baik unsur penyelenggara, maupun kualifikasi yang dimiliki oleh nama-nama kandidat yang mulai beredar menjelang Pilpres akan menjadi partisipasi politik yang kritis dan diharapkan dapat meningkatkan kualitas penyelenggaraan Pilpres serta menghasilkan postur pemerintahan di bawah pasangan presiden dan wakil presiden terpilih yang dapat menjalankan amanat rakyat menuju perbaikan dan kemajuan bangsanya.

*) Otjih Sewandarijatun adalah peneliti di Lembaga Analisa Politik dan Demokrasi, Jakarta

(nwk/nwk)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads