Karena menurut pria yang masih menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta ini, bagi-bagi 'kue' di kabinet hanya ada di sistem parlementer.
"Ini sistem presidensial, ya kan? Jadi, yang namanya bagi-bagi kursi, bagi-bagi menteri, itu hanya ada di koalisi parlementar," ujar pria 52 tahun ini di Balai Kota 10 April lalu.
Namun menurut pakar hukum tata negara dari Universitas Indonesia Margarito Kamis, Jokowi tak bisa mengabaikan kepentingan partai mitra koalisi. Karena bagaimana pun juga tujuan sebuah partai menjalin koalisi adalah meraih kekuasaan.
"Senang tidak senang, suka tidak suka, koalisi antarpartai itu bertujuan untuk meraih kekuasaan. Dan kekuasaan itu bukan di legislatif melainkan di eksekutif di kabinet," kata Margarito saat berbincang dengan detikcom, Selasa (15/4/2014).
Menurut Margarito akan sangat berisiko jika PDI Perjuangan yang mengusung Jokowi hanya menjalin koalisi dengan sedikit partai. Apalagi koalisi yang sudah pasti, yakni PDI Perjuangan dengan Partai Nasional Demokrat hanya menghasilkan sekitar 26 persen suara berdasarkan hasil hitung cepat pileg.
Jika hanya menjalin koalisi dengan Partai NasDem, PDI Perjuangan yang mengusung Jokowi tidak bisa mengendalikan DPR. Dari prediksi Lembaga Survei Indo Barometer, PDI Perjuangan dengan 19,00 persen suara mendapat kursi sekitar 109. Sementara Partai NasDem dengan 6,91 persen mendapat 39 kursi.
Gabungan kedua partai tersebut hanya menghasilan 148 kursi. Padahal jumlah kursi di DPR RI adalah 560. "Ini bisa menjadi ganjalan bagi Jokowi. Jokowi tidak boleh gegabah dengan hanya menjalin koalisi dengan sedikit partai," kata Margarito.
(erd/brn)