Komnas HAM Duga Ada Penggelembungan Suara pada Pileg 9 April

Komnas HAM Duga Ada Penggelembungan Suara pada Pileg 9 April

- detikNews
Selasa, 15 Apr 2014 15:50 WIB
Jakarta - Komnas HAM menduga ada penggelembungan suara pada pemilihan legislatif (Pileg) pada 9 April lalu. Penggelembungan suara ini dilakukan secara masif terutama di daerah-daerah baru.

"Salah satu temuan yang kita dapatkan adalah penggelembungan jumlah penduduk di beberapa daerah yang dilakukan secara masif, terutama di daerah otonom baru," kata Ketua Tim Pemantauan Pemilu dari Komnas HAM, Natalius Pigau, dalam jumpa pers di ruang rapat pleno Komnas HAM, Jl Latuharhari, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (15/4/2014).

Natalius mencontohkan di Kabupaten Nduga yang merupakan pemekaran dari Kabupaten Jayawijaya, Papua, pada saat pemilihan Gubernur 2011 jumlah penduduknya hanya 68 ribu. Tetapi saat Pileg jumlah penduduknya meningkat mejadi menjadi 195 ribu. "Aneh, masak dalam waktu 3 tahun bisa bertambah sebanyak itu," katanya.

Lokasi-lokasi lain yang diduga ada penggelembungan suara berada di Distrik Walelagama, Papua. Pada distrik ini sebelum pemekaran pada 2009 jumlah penduduknya hanya 14 ribu orang, setelah dimekarkan menjadi 5 distrik menjadi 25 ribu orang.

Kemudian di Kabupaten Jayawijaya saat pemekaran tahun 2007 jumlah penduduknya 200 ribu orang. Setelah dimekarkan jadi 5 kabupaten, salah satu kabupatennya tetap memiliki 200 ribu penduduk.

Natalius mengatakan manipulasi demografi adalah suatu bentuk kecurangan. Menurutnya sistem 'one person one vote' tidak berjalan karena data penduduk dimanipulasi.

"Penggelembungan jumlah penduduk diduga dilakukan bupati atau walikota, ini dilakukan karena ada kepentingan. Di antaranya adalah persyaratan pemekaran wilayah daerah otonom baru, peningkatan dana alokasi umum, dan kepentingan pejabat daerah itu sendiri," katanya.

Komnas HAM meminta KPU bekerja sama dengan Kemendagri untuk memverifikasi jumlah penduduk di seluruh provinsi di Indonesia sehingga asas 'one person one vote' bisa dilaksanakan.

Selain masalah penggelembungan suara, Natalius juga menyoroti soal tidak adanya surat suara dengan huruf braille. Hal ini membuat pemilih yang tuna netra tidak bisa memilih. "Akhirnya mereka tidak bisa memilih," katanya.

Selain itu juga banyak pasien di rumah sakit yang tidak bisa menggunakan hak pilihnya. Hal ini karena tidak adanya TPS keliling. "Contoh saja di RSCM yang tidak menyediakan TPS keliling. Para pasien di RSCM yang ingin mencoblos harus mengurus formulir A5 dan diantar ke TPS dengan jarak 100 meter dari RSCM," tuturnya.

(nal/nwk)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads