Celakanya koalisi-koalisi yang terbentuk di pemerintahan Indonesia pasca-reformasi masih koalisi berbasis kebutuhan elektoral dan mengamankan kekuasaan. Kita bisa melihat di tahun 1999, ketika Poros Tengah mengusung Gus Dur sebagai Presiden. Mereka memang memiliki kesamaan ideologi, namun ketika Gus Dur telah terpilih dan ternyata tidak sesuai harapan para pendukung Poros Tengah, mereka jugalah yang menjatuhkan Gus Dur di 2001. Begitu pula dengan koalisi ala SBY yang diformalkan dalam Sekretariat Gabungan (Setgab). Meski telah ada komitmen bersama, ternyata daya ikat Setgab ini hanya efektif di ruang eksekutif, sementara di ruang legislatif penuh intrik politik, komitmen di sini seperti tak bernilai sama sekali. Alhasil, upaya koalisi yang telah dibangun tidak memberikan dampak terhadap pemerintahan itu sendiri.
Latar belakang inilah yang menggelitik saya untuk mengkritik skema koalisi pragmatis yang sangat mungkin terulang kembali di Pemilu 2014. Koalisi pragmatis bisa dicirikan sebagai berikut: (1) Orientasi elektoral, bukan ideologi atau program; (2) Bersifat transaksional berupa materi atau jabatan; (3) pilihan koalisi berlandaskan pengamanan kursi kekuasaan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pola ini terjadi karena para pelaku politik Indonesia saat ini adalah para wajah lama yang hidup di era otoriter dan kini dipaksakan menggunakan fitur demokrasi. Hasilnya adalah ketidakpahaman mereka terhadap demokrasi itu sendiri, yang membuat mereka menilai bahwa koalisi adalah sebatas bagi-bagi jatah menteri, bukan bentuk kesepahaman bersama dalam membangun bangsa.
Ke depan, setidaknya dimulai dari lobi koalisi di Pilpres 2014, perlu ada kebijaksanaan dari parpol dalam mendorong koalisi berkualitas dengan tiga indikator. Pertama, dibangun berdasarkan kesamaan ideologi, visi, dan program dalam membangun Indonesia. Kedua, kesepakatan terbentuk bukan berdasarkan berapa jumlah kursi di kabinet, melainkan pada kesepakatan berkerja sama. Idealnya, mayoritas anggota kabinet republik ini diisi oleh orang-orang yang memang berkompeten di bidangnya. Ketiga, jumlah koalisi yang tidak terlalu besar untuk mengurangi kerumitan dalam mengelola pemerintahan dan juga untuk memberikan ruang oposisi bagi partai lain.
Keterangan Penulis:
Penulis adalah seorang pemerhati ekonomi politik dan Co-Founder Bandung Strategic Leadership Forum (BSLF).
(es/es)











































