Sudah 24 tahun Syaiful bekerja di negeri jiran sebagai pekerja serabutan di pabrik besi. Selama itu baru tiga kali dia bisa pulang kampung.
“Saya memilih jadi TKI soalnya di negeri sendiri nggak ada pekerjaan. Saya cuma lulusan SMA, nyari pekerjaan susahnya minta ampun. Padahal zaman dulu belum banyak orang yang ambil kuliah, tapi masih susah juga buat cari kerja,” tutur Syaiful sambil menatap birunya Laut Jawa dari atas KM Kelud, Jumat (4/4/2014).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Kalau bicara soal gaji memang di sana lebih besar. Kalau di-Rupiah-kan bisa Rp 150.000 per hari. Tapi buat kebutuhan hidup di sana juga habis buat makan dan lain-lain. Tetap lebih enak kalau misalnya saja bisa bekerja di kampung sendiri. Tapi apa ada kerjaan?” sebut Syaiful sambil menghisap gulungan tembakau.
“Kampung saya sebenarnya di Semarang, Jawa Tengah. Kemarin sempat pulang nengokin keluarga, sekarang mau ke Batam nengok kerabat lalu balik lagi ke Malaysia. Dulu di kampung saya tidak ada pekerjaan yang menjanjikan. Kalaupun bertani, waktu itu pertanian sudah mulai tak diperhatikan,” ucap lagi Syaiful.
Sudah coba dia mengadu nasib di Ibukota yang konon kabarnya menjanjikan nasib baik. Banyak pula kawan dia yang ke Ibukota untuk sekedar menjadi kuli.
“Di negeri sendiri jadi kuli, eh di negeri orang juga jadi kuli. Jadi ya saya milih jadi kuli yang penghasilannya lebih besar saja,” imbuh dia.
Tak tahu sampai kapan Syaiful harus bekerja menjadi kuli di negeri orang. Ketika orang asing justru menjadi petinggi perusahaan, Syaiful dan para TKI lain masih saja menjadi pekerja kasar.
“Semoga setelah Pemilu nanti Presiden terpilih bisa menciptakan lapangan kerja yang banyak buat kita semua,” harap Syaiful.
(bpn/van)