Indonesia yang terdiri dari gugusan kepulauan memiliki beragam seni dan budaya. Kekayaan yang terlahir dari kecintaan masyarakatnya menjelma tarian, rupa-rupa musik dan alatnya, corak kain yang apik, dan sebagainya. Kesetiaan Ngadino (51) dengan tanah kelahirannya, Yogyakarta, membawa dirinya menjadi pengamen kecapi di Ibu Kota.
"Pokoknya saya selalu seperti ini. Pakai blangkon sama batik khas Yogya. Kemana-mana saya pasti pakai pakaian yang mencirikan seperti ini," ucap Ngadino ketika berbincang di pinggir jalan sebelum perempatan Srengseng, Jakarta Barat, Selasa (1/4/2014).
Sejak tahun 1977, Ngadino sudah menginjakkan kaki di kota metropolitan ini. Kehidupan yang keras di Jakarta dijalaninya dengan bekerja serabutan. Perkenalannya dengan alat musik kecapi melalui grup campursari pada tahun 1990. Saat itu, Ngadino ikut bergabung dalam grup itu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun sejak Presiden Soeharto dilengserkan melalui pergerakan Reformasi pada tahun 1998, hidup Ngadino lambat laun terseok-seok. Hingga akhirnya pada tahun 2004 silam, dia memutuskan untuk mengamen di jalan dengan memetik kecapi.
Ngadino berkisah, dia memang berasal dari keluarga yang dekat dengan kesenian khas Jawa. Bapak kandung Ngadino berprofesi sebagai penabuh gamelan atau biasa disebut Nayaga atau Yogo. Sementara, ibunya mendampingi bapaknya sebagai Sinden, yang menyanyikan lagu Jawa atau nembang Langgam Jawa.
"Istri saya juga biasanya ikut nyinden, tapi sekarang-sekarang ini di rumah kan sudah ada cucu. Jadi sekarang jarang ikut. Sekarang jadi ya saya sendiri yang nembang sendiri sambil main (kecapi-red)," kata bapak 4 anak dan 3 cucu itu menjelaskan.
Berperawakan kurus dengan pipi yang cekung, Ngadino menggendong kecapinya di punggung menyusuri jalanan Ibu Kota. Dia selalu mencari tempat-tempat yang dijadikan pusat jajanan yang ramai pembeli.
Berharap petikan kecapi dan nyanyiannya ketika mengamen berbuah lembaran rupiah. Setiap harinya, Ngadino setidaknya mengantongi hasil keringatnya sekitar Rp 50 ribu sampai Rp 70 ribu.
Meski mengamen, Ngadino tidak ingin melupakan jati dirinya. Pun dengan sosok pemimpin yang didambanya. Dia ingin pemimpin ke depan tidak melupakan seperti apa bangsa yang kaya akan seni dan budaya yang telah kuat mengakar.
"Harusnya pemimpin nanti juga memperhatikan seni budaya. Jangan terus dilupakan. Kalau saya ngamen, ada yang dengerin, nyimak saya nembang itu aja sudah bikin saya senang. Masih ada yang memperhatikan," ucapnya sembari menyetem senar kecapinya.
(dha/trq)