Lantunan Gambang Kromong Kakek Keturunan Tionghoa di Tengah Kultur Pop

Wong Cilik

Lantunan Gambang Kromong Kakek Keturunan Tionghoa di Tengah Kultur Pop

- detikNews
Senin, 07 Apr 2014 11:29 WIB
Jakarta -

Sebuah kotak besar berdebu terletak di teras sebuah rumah. Kotak itu bertuliskan ‘Naga Jaya’ dengan di sekitarnya ada pengeras suara dan kabel yang berbelit-belit.

Seorang pria tua namun bertubuh masih segar keluar dari rumah tersebut. Nama pria itu adalah Joksan (71), seorang yang tetap konsisten mempertahankan seni budaya gambang kromong yang dititiskan dari generasi ke generasi dari keluarganya.

“Grup saya ini Naga Jaya saya bentuk di tahun 1979 setelah orang tua saya tutup usia. Dulu kesenian Gambang Kromong masih cukup ramai. Hampir selalu muncul di televisi untuk mengiringi acara-acara,” ujar Joksan di rumahnya, Jl Kampung Melayu, Teluk Naga, Kabupaten Tangerang, Senin (24/3/2014).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kong Joksan, demikian dia biasa disapa, memiliki nama Indonesia, yaitu Rudy Sanjaya. Namun dirinya yang keturunan Tionghoa ini bernama asli Giok San, karena pengaruh dialek masyarakat setempat, dia dipanggil Joksan. Kong adalah sapaan Betawi yang artinya kakek.

“Dulu ketika musik gambang kromong masih jaya, kami bisa menabung untuk membeli rumah di tanah yang harganya masih belum mahal ini, sekarang belum tentu sebulan ada yang memanggil kami untuk mentas,” tutur Kong Joksan.

Sekarang grup musik besutan Kong Joksan harus bertahan dan harus puas jika diupah tak seberapa. Untunglah empat dari lima anak Kong Joksan turut membantu dalam grup musik tersebut.

“Sekali tampil palingan kami diberi bayaran paling tinggi Rp 5 juta, itu kemudian untuk dibagi ke 20 orang. Karena untuk gambang kromong modern seperti sekarang ini memang personelnya dari 15 sampai 20 orang,” papar Kong Joksan.

Jika beruntung maka Naga Jaya akan tampil sebanyak empat kali dalam waktu satu bulan. Jika tidak, maka hanya satu kali Naga Jaya tampil sementara dalam rumah Kong Joksan terdapat 20 anggota keluarga yang tinggal.

“Kalau pas kumpul semua, anak, cucu, dan menantu bisa 20 orang yang tidur di rumah ini. Untung anak saya yang bungsu dan yang ketiga sudah punya rumah sendiri sehingga tidak jadi satu di sini,” kata Joksan.

Dari lima anak, Kong Joksan memiliki 17 orang cucu yang kelak akan meneruskan perjuangan Naga Jaya. Bersama Kong Joksan, grup musik ini sebelumnya telah menjelajahi daratan Asia.

“Asia hampir semua sudah saya datangi untuk pentas dulu. Saya juga sering mengiringi Maestro Tari Cokek Indonesia Encim Masnah ke mana-mana,” tutur Kong Joksan.

Namun sepeninggalan Encim Masnah dua bulan lalu, Kong Joksan tak tahu lagi penyanyi gambang kromong kelas dunia dari tanah air. Menatap kosong ke arah pemukul alat musik gambang, pria itu khawatir akan usia kesenian ini yang tak berlangsung lama.

“Pemerintah sekarang kurang perhatian sama kesenian tradisional. Semua yang dari barat-barat saja yang sering muncul,” sebut Joksan.

Dibukanya kotak berdebu itu kemudian dikeluarkannya sebuah alat musik gambang. Terbuat dari kayu jati asli, sementara di tengah-tengahnya ada 18 bilah bambu yang jika dipukul akan mengeluarkan suara yang merdu.

Mulai menggenggam alat pemukul, Kong Joksan mengetuk gambang dan mulai memainkan irama yang merdu. Tanpa mikrofon pun sudah terdengar nyaring dan suaranya dapat menyejukan pikiran yang penat.

(bpn/trq)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads