Tim ad hoc audit dana kampanye IAPI, Anton Silalahi, menjelaskan titik rawan pertama, parpol mencatat pemasukan dari sumber-sumber terlarang dengan menggunakan pihak- pihak tertentu sebagai penyumbang fiktif untuk menyamarkan dana dari sumber kampanye.
Titik rawan ke dua, parpol tidak mencatat pemasukan dari sumber-sumber terlarang dan tidak memasukkan ke dalam rekening khusus dana kampanye sehingga tidak terlihat adanya penerimaan dari sumber-sumber terlarang. "Dana terlarang langsung dikonversi menjadi kegiatan kampanye, tidak melalui rekening dana kampanye," ujarnya kepada wartawan di kantor ICW, Jumat (4/4/2014).
Yang ketiga, dia menyebutkan, parpol mencatat penerimaan tidak dalam jumlah sebenarnya. Misalnya, sumbangan berbentuk jasa atau barang yang melewati batas sumbangan hanya dicatat sejumlah nilai yang diperbolehkan.
Titik rawan ke empat, lanjut Anton, Parpol memasukkan dana terlarang ke dalam rekening parpol. Selanjutnya dimasukkan ke dalam rekening khusus kampanye. Menurut UU No. 8 tahun 2012 dan Peraturan KPU No. 17 tahun 2013 tidak ada batasan jumlah yang bersumber dari parpol.
Titik rawan ke lima, pelaksanaan audit rentan dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak mempunyai kewenangan, yaitu dilakukan oleh pihak lain atau disubkontrakkan dari akuntan publik yang bersangkutan dengan pihak lain yang tidak berwenang untuk melakukan audit. Hasilnya dapat berupa hasil audit yang tidak berkualitas.
"Yang ke enam, tender untuk audit kemungkinan rawan tindak pidana korupsi, seperti gratifikasi, suap dan sebagainya," katanya menjelaskan.
Titik rawan ke tujuh, Anton mengungkapkan, audit kemungkinan hanya dilakukan oleh beberapa kantor akuntan publik untuk obyek audit yang mencakup sejumlah 399 perikatan dana kampanye seluruh indonesia.
Padahal terhadap ketentuan pembatasan audit maksimal dua partai politik untuk seluruh Indonesia. "Dengan sedikit jumlah KAP yang kemungkinan terlibat maka dapat beresiko terhadap kualitas dari hasil audit," ujar Anton.
(idh/brn)