Pengamat Politik Universitas Syiah Kuala, Saifuddin Bantasyam, mengatakan, dirinya tidak setuju dengan pernyataan-pernyataan yang menyebutkan Aceh dalam keadaan darurat pemilu. Meskipun demikian, ia sangat menyayangkan sejumlah kasus yang terjadi di Aceh dalam tiga bulan terakhir.
"Tiga bulan jelang pemilu sudah 6 korban tewas. Saya kira menjelang pemilu angka kekerasan menurun tapi ternyata masih saja terjadi," kata Saifuddin saat dihubungi wartawan, Kamis (3/4/2014).
Untuk mengantisipasi agar tidak ada kekerasan, jelas Saifuddin, polisi harus lebih menggencarkan razia. Selain itu, kehadiran polisi juga harus semakin nyata di tengah-tengah masyarakat terutama di wilayah rawan terjadi kekerasan dan penembakan.
Menurutnya, meski terjadi beberapa tindak kekerasan menjelang pemilu, ia tidak sependapat dengan pernyataan salah satu LSM yang merekomendasi pemilu di Aceh di tunda. "Saya tidak sependapat dengan usulan penundaan pemilu, karena itu juga tidak akan menyelesaikan kasus kekerasan," jelas Saifuddin.
Dalam menangani sejumlah kasus, polisi diminta untuk lebih profesional dengan mengungkap motif-motif di balik kekerasan tersebut. Selain itu, ia juga berharap agar masyarakat tidak terlalu takut namun tetap waspada dengan kondisi sekarang ini. Saat hari pencoblosan, masyarakat harus melihat situasi dan kondisi sebelum ke TPS.
"Kalau kondisinya menyeramkan dan nyawa taruhan untuk memilih, lebih baik tinggal aja di rumah jangan memilih," ungkap dosen Fakultas Hukum Unsyiah tersebut.
Aksi kriminal bernuansa politik terjadi di sejumlah wilayah, mulai dari Aceh Utara hingga Bireuen. Posko caleg dan partai dirusak dan dibakar. Terakhir, 3 orang tewas di dalam mobil berstiker caleg Partai Aceh setelah diberondong orang tak dikenal. Hingga saat ini, pelakunya belum tertangkap.
(try/try)