Salah satu kriteria layak yang perlu dikedepankan menurut saya adalah usia. Bila untuk presiden banyak pihak sependapat harus figur muda, dengan rentang usia seperti kata mantan Presiden BJ Habibie antara 40-60 tahun, maka untuk wakil presiden idealnya justru harus lebih sepuh, 70 tahun ke atas.
Kita bisa berkaca dari duet para kepala daerah selama ini. Umumnya duet mereka yang dari sisi usia relatif sebaya hanya kompak pada tahun pertama hingga ketiga. Selebihnya, sang wakil mulai terbuka menunjukkan hasratnya menjadi pesaing, bukan cuma pendamping lagi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jokowi maupun Megawati dan PDI Perjuangan harus melihat faktor usia JK sebagai titik unggul, bukan kelemahan. Duet Barack Obama dengan Joseph Robinette "Joe" Biden, Jr yang lebih tua bisa menjadi rujukan. Anggota Partai Demokrat dan Senator dari Delaware (1973-2009) itu adalah kritikus terdepan terhadap Obama, khususnya dalam isu-isu luar negeri. Tapi Obama berani menjadikannya pasangan.
Biden punya kemampuan bernegosiasi dengan kubu partai Republik di Kongres. Misalnya saja dalam isu pembebasan pajak, reotorisasi asuransi pengangguran, dan undang-undang penciptaan lapangan kerja 2010. Obama pun kemudian menggandengnya kembali untuk periode kedua, 2012-2016.
Sosok JK rasanya lebih lengkap dari Biden. Penguasaan makro ekonominya yang mumpuni telah dibuktikan semasa mendampingi Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 2004-2009. Sebagai pengusaha, JK punya kemampuan layaknya CEO yang terbiasa berpikir dan mengambil keputusan dengan cepat. Berani mengambil risiko.
Pengalaman internasional JK juga sudah dibuktikan secara cukup fenomenal antara lain dalam mendamaikan konflik kita dengan Gerakan Aceh Merdeka. Juga dia pernah diminta menangani masalah kaum muslim Rohingya di Myanmar.
Sebagai mantan ketua umum Partai Golkar, JK masih punya pengaruh dan disegani. Sehingga dengan segala wibawa yang melekat pada dirinya niscaya bakal mampu meredam manuver-manuver liar di parlemen kelak. Dari banyak tokoh, JK juga punya hubungan yang baik dengan Megawati. Gaya komunikasi dan hubungan JK dengan kalangan partai Islam pun sejauh ini cukup terjaga dengan baik. Apalagi, selain Ketua Umum PMI, JK adalah Ketua Dewan Masjid Indonesia. Tak heran bila namanya masuk dalam bursa capres PKB. Untuk meraih dukungan dari kawasan Indonesia Timur rasanya JK tak perlu keluar banyak energi dan sumber dana untuk berkampanye.
Bagi JK, meski posisinya kembali βhanyaβ menjadi wakil presiden, toh masyarakat pasti akan mengapresiasi sepak terjangnya kelak. Pengalaman semasa 2004-2009 mendampingi Susilo Bambang Yudhoyono menunjukkan hal itu. Dan kini, JK dengan segala reputasi dan pengalamannya akan lebih all out mewakafkan sisa hidupnya demi perbaikan bangsa dan republik ini.
Bagaimana dengan Akbar Tandjung? Dia memang pernah sukses memimpin Partai Golkar dan punya riwayat kedekatan yang unik dengan Megawati. Kemampuannya sebagai politisi tak perlu diragukan lagi. Tapi rekam jejak Akbar (69 tahun) tetap tak semulus JK. Dia pernah tersandung kasus Bulog, meski di tingkat kasasi Mahkamah Agung membebaskannya.
Dari keluarga besar Partai Golkar, masih ada Jenderal Luhut B Panjaitan, 66 tahun. Selang dua jam pencapresan Jokowi, dia bersama para purnawirawan TNI langsung menyatakan apresiasi terhadap Megawati. Dia pernah menjadi duta besar untuk Singapura. Meski cuma enam bulan, dia tergolong sukses merekatkan kembali hubungan negeri singa itu dengan Indonesia. Luhut pernah menjadi Menteri Perindustrian dan Perdagangan, menggantikan JK di era duet Abdurrahman Wahid-Megawati.
Di ketentaraan, Luhut pernah selama hampir lima tahun menjadi atasan Prabowo Subianto. Dialah yang pertama kali mencegah upaya penculikan Jenderal LB Moerdani dan tokoh lainnya oleh Prabowo saat masih kapten. Selepas pendidikan di Jerman, dia memprakarsai pembentukan kesatuan antiteror di lingkungan Kopassus.
Selepas menjadi menteri, dia lebih dikenal sebagai pengusaha. Bidang garapannya cukup strategis, mencakup kehutanan hingga energi. Terkait bisnis ini pula, Luhut masih perlu menjelaskannya secara lebih terbuka. Bagaimana dia mendapatkan modal dan kepercayaan sehingga bisa sukses mengelola bisnis yang tergolong strategis.
Kendala lain, beberapa kelompok muslim garis keras sepertinya tak akan menyukainya hanya karena dia seorang Kristen. Kampanye oleh segelintir ustadz garis keras bahwa Jokowi tengah melakukan kristenisasi karena selalu memilih wakil beragama kristen, seolah mendapat pembenaran.
*) Sudrajat adalah wartawan di detik.com. Tulisan ini adalah pendapat pribadi penulis, tidak mewakili pendapat di mana penulis berkarya.
(alx/nwk)