"Ketika TKI kita yang meninggal kemudian pihak keluarga menerima Rp 150 juta selesai, tapi kenapa kalau warga negara kita yang terpaksa melakukan pembunuhan harus membayar denda Rp 21 milyar. Ini kan ketidakadilan yang luar biasa," kata Anis di Bandara Ahmad Yani Semarang, Rabu (2/4/2014).
Dia berharap tim yang dikirim pemerintah ke Arab Saudi tidak hanya bernegoisasi soal diyat namun juga melayangkan protes. Anis menyebut mafia diyat bakal mempengaruhi hubungan baik antara dua negara.
"Mestinya pemerintah Indonesia selain negosiasi besaran, harus protes ke Arab, kenapa praktik liar ini dibiarkan? Ini mengganggu lho, mengganggu hubungan dua negara," sebutnya.
Karena itu penanganan bantuan hukum terhadap TKI bermasalah harus dimaksimalkan. Pemerintah juga wajib memberikan pengacara mendampingi TKI menghadapi proses hukum.
"Berharap pola penanganan tidak seperti ini lagi, tapi lebih memaksimalkan bantuan hukum," tegasnya.
Anis hingga saat ini belum mendapat informasi resmi soal diyat Satinah yang dikabarkan dapat dicicil menjadi Rp 15 miliar untuk menunda eksekusi hukuman pancung selama dua tahun.
"Bisa terbayang memperpanjang delay pembebasan hukuman mati kan memperpanjang penderitan. Bukan hanya Satinah, tapi juga keluarga," tegasnya.
Sementara itu Kepala Disnakertransduk Jateng, Wika Bintang mengatakan, dari informasi yang diperoleh sementara, keputusan terkait hukuman mati Satinah jatuh pada 5 April mendatang. Namun pada tanggal tersebut, digelar juga pemungutan suara yang dilakukan warga Indonesia yang berada di luar negeri.
"Informasinya, tanggal 5 April itu Pileg yang dilakukan WNI di luar negeri. Jadi akan diundur, tapi kapan waktunya belum tahu," kata Wika. "Nota diplomatik dari kementrian luar negeri ke Arab sudah disampaikan," imbuhnya.
(alg/fdn)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini