Berbagi tawa dan canda dengan anak-anak memang membuat lupa waktu. Ada kalanya anak-anak itu harus diminta pulang oleh Pak Riswan (65) karena khawatir orang tua mereka mencari.
Sebisa mungkin, bagi Pak Riswan, jangan sampai ketika mentari di puncak teriknya para siswa SD Cawang, Jakarta Timur, itu masih berada di lingkungan sekolah. Usia anak-anak memerlukan waktu istirahat yang cukup sehingga pertumbuhan si anak pun optimal.
"Sebelum anak-anak pulang selalu saya bilang agar jangan nakal sama orang tua. Itu saja cukup karena orang tua itu harus dihormati," tutur Pak Riswan siang hari Rabu (26/3/2014) itu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pipa-pipa penyangga hingga daftar film yang dijajakan semua dia masukan dengan rapi ke kantong-kantong plastik. Setelah itu diikatkan pada sebuah sepeda yang tingginya tak lebih dari pinggang Pak Riswan.
"Kendaraan saya ya cuma sepeda ini saja. Ke mana-mana naik sepeda, kalau berangkat dari rumah ke sini biasanya bisa sampai satu setengah jam. Karena saya mengayuh sepedanya juga pelan-pelan saja. Maklum sudah tua," ujar dia.
Tak lama dia pun usai mengikat seluruh peralatan bioskop. Dengan diawali doa, dia segera berangkat menuju rumah yang letaknya di Prumpung, Jakarta Timur, atau sekitar 10 kilometer dari SDN Cawang.
Tak dipedulikannya kendaraan menglakson ketika dia berhenti di belakang garis putih saat lampu merah di perempatan Cililitan. Bahkan ketika truk besar membuat gusar dengan suara kasar pun Pak Riswan tetap pada keyakinan mematuhi aturan lalu-lintas.
Sesampainya di permukiman Prumpung Tengah, Pak Riswan disambut seluruh warga dengan sebutan 'Bapak'. Terlihat betapa Pak Riswan adalah figur yang ramah dan selalu menebar senyum.
Tapi dibalik senyum itu rupanya ada duka yang terpendam. Pak Riswan merasa tak memiliki generasi penerus, sehingga dia sangat senang mendidik anak-anak SD dengan sajian bioskop mini.
"Istri saya meninggal 4 tahun lalu karena sakit tumor otak. Waktu itu nggak ada yang namanya KJS (Kartu Jakarta Sehat), jadi rumah sakit mahal sekali. Istri saya meninggal waktu di perjalanan menuju rumah sakit. Waktu itu diantar hanya pakai taksi, tidak pakai ambulans.
Karena taksi jauh lebih murah. Tapi apa jadinya kalau taksi juga terjebak macet seperti mobil biasa kan," kata Pak Riswan mengisahkan.
Penyakit tumor otak diidap sang istri selama dua tahun. Selama itu pula Pak Riswan tidak mampu mengakses rumah sakit dengan teknologi canggih yang mungkin akan dapat membuat istrinya tertolong.
Sementara itu putra pertamanya baru saja meninggal tiga bulan lalu akibat komplikasi penyakit. Namun sang putra masih sering dibawa ke berbagai rumah sakit karena sudah ada KJS.
"Kalau yang namanya takdir mau bagaimana lagi? Siapa bisa melawan?" kata Pak Riswan menghibur diri.
Kini dia tinggal bersama seorang putri yang berusia 27 tahun. Namun kondisi psikis sang putri yangat mengkhawatirkan sejak sepeninggalan ibunda.
"Ningsih selalu diam sejak istri saya meninggal dulu. Sudah saya bawa ke dokter tapi katanya syarafnya yang kena. Jadi saya juga bingung bagaimana cara menyembuhkannya sementara saya kan juga harus cari uang buat makan," ujar Pak Riswan.
Masih untung bagi Pak Riswan ketika sang keponakan menghibahkan rumah untuk dia. Tanpa membayar sepeser pun, Pak Riswan tinggal di rumah petakan kecil milik keponakan dengan kondisi yang ala kadarnya.
Plafon melengkung terkena air itu seperti lekukan kehidupan yang dilalui Pak Riswan setiap hari. Ketika tak satu jua mengerti masalah yang dia hadapi, Pak Riswan akan selalu ramah menyapa siapa pun.
(bpn/trq)