Pertanyaan itu dilontarkan diplomat asal Indonesia yang bekerja di salah satu konsulat jenderal di luar negeri dalam forum "Introduction to The Indonesian Legislative Election 2014 Forum" di Hotel Borobudur, Jakarta Pusat, Selasa (1/4/2014).
Apa jawaban KPU soal perubahan UU tiap pemilu tersebut?
"Pasca reformasi ada 4 kali pemilu, yaitu pemilu tahun 1999, tahun 2004, tahun 2009, dan saat ini tahun 2014. Ada konteks-konteks yang menuntut perubahan UU di tiap kali pemilu pasca reformasi," kata Komisioner KPU Sigit Pamungkas.
Pada pemilu tahun 1999, ada tuntutan besar mengubah UU pemilu pada tahun sebelumnya karena tidak memberikan kebebasan dalam mendirikan parpol. UU yang ada saat itu tidak memungkinkan demokrasi berjalan baik. Maka pemilu 1999 dibentuk desain UU baru.
"Pemilu berikutnya tahun 2004, dilakukan perubahan kembali UU pemilu, konteksnya karena pada tahun 2002-2003 dilakukan amandemen konstitusi yang mengubah desain dan stuktur politik di Indonesia," ujarnya.
"Belum ada pemilu langsung, dan sejak sejak 2004 baru ada DPD. Jadi ada konteks di UU Pemilu yang harus diubah," tambah Sigit.
Kemudian pada pemilu selanjutnya tahun 2009, UU pemilu kembali diubah oleh DPR. Sehingga tidak lagi menggunakan UU yang dipakai pada Pemilu 2004.
Menurut Sigit, pada perubahan kali ini tidak ada perubahan konteks yang mendasar, namun yang menonjol adalah trial and error atas desain UU pemilu sebelumnya.
"Pengalaman pemilu pasca amandemen tahun 2004 menyisakan beberapa persoalan yang ingin diperbaiki pada Pemilu 2009. Itu trialnya atas pengalaman Pemilu 2009," ujar komisioner bidang sosialisasi itu.
Terakhir, menghadapi Pemilu 2014 DPR kembali mengubah UU. Bahkan ada 2 UU yang semula akan diubah, yaitu UU Pemilu dan Pilpres. Namun kenyataanya UU Pilpres gagal diubah, terutama karena debat angka Presidential Threshold (PT).
Pada perubahan UU untuk Pemilu 2014, Sigit mencatat di antara yang berubah adalah syarat keterwakilan perempuan sebesar 30% bagi seluruh partai politik.
"Kedua, perubahan calon terpilih, di pemilu sebelumnya calon terpilih dari parpol yang dapat kursi didasarkan nomor urut yang disusun parpol. Memasuki Pemilu 2009 karena ada keputusan MK, maka calon terpilih berdasarkan suara terbanyak dari parpol," tuturnya.
"Ini menunjukkan kadar demokrasi lebih bagus dalam sistem perpolitikan di Indonesia. Jadi perubahan tiap UU itu karena ada politik makro yang lebih luas dan keinginan memperbaiki kualitas pemilu," imbuh Sigit.
(iqb/trq)