Pengamat politik, Jerry Sumampouw mengatakan, ketakutan soal kecurangan pemilu memang tidak seharusnya dikhawatirkan secara berlebihan. Namun bukan berarti isu itu bisa dilupakan sama sekali.
"Saya kira perlu mengingatkan siapapun yang hendak melakukan kecurangan itu, supaya berhenti. Apakah akan sedemikian dilakukan? Karena itu akan merusak semua. Resikonya terlalu besar," tegas Jerry dalam keterangannya, Jakarta, Senin (31/3/2014).
Dalam analisa Jerry, kecurangan bisa dilakukan melalui berbagai proses. Seperti permasalahan yang sudah-sudah adalah soal Daftar Pemilih Tetap (DPT).
Cara lainnya bisa juga dengan memanipulasi logistik pemilu. Fakta di lapangan, ada banyak problem logistik seperti gudang tak siap, pengiriman berlebihan, atau justru pengiriman kurang.
Hal itu masih ditambah fakta lainnya bahwa proses pencetakan dan distribusi logistik seperti surat suara dan formulir penghitungan suara (C1) praktis tak terawasi. Logikanya, kata Jerry, setiap perusahaan percetakan selalu mencetak lebih.
"Nah, kelebihan cetak itu dikemanakan? Itu tak jelas. Itu bisa juga terjadi di C1. Katanya form C1 pakai hologram sehingga tak bisa dimanipulasi. Tapi bagaimana kalau sejak awal C1 sudah dicetak lebih? Dan tak ada pengawasan," bebernya.
Indikasi kecurangan ketiga ada di proses rekapitulasi di tingkat kecamatan dan kaupaten, yang juga kurang diawasi. Apabila diasumsikan kelompok yang ingin curang tadi sudah berhasil memanipulasi DPT, mendapat surat suara dan formulir C1 berlebih, kini mereka hanya tinggal mengganti kotak suara. Dan pengawasan untuk kotak suara sendiri sangat lemah.
"Katanya ada mitra pengawas pemilu. Kalaupun mereka jadi dibiayai negara, mereka kan hanya bekerja di hari H. Dan apa dia akan mengawasi kotak suara 24 jam? Itu tak jelas juga. Yang awasi 24 jam hanya polisi," jelasnya.
Permasalahan lain bisa juga terjadi di KPU Pusat sendiri. Seandainya mengetahui ada oknum KPU daerah yang terlibat kecurangan, pimpinan akan cenderung membela hasil kerja bawahannya itu.
"KPU pusat akan membela mati-matian. Ini yang saya sebut struktur KPU memungkinkan kecurangan terjadi dan dibela KPU tingkat atas. Jadi KPU sendiri sulit diharapkan menemukan kesalahan internal. Kalaupun mau diproses, itu tunggu DKPP alias butuh waktu. Sementara proses perhitungan suara tetap jalan," paparnya.
Sebelumnya, Wasekjen PDIP Hasto Kristiyanto juga pernah mengungkapkan adanya kekhawatiran mengenai hal ini. Ia bahkan mengaku mendapatkan data dari tim intelijen yang mengatakan ada langkah untuk merusak suasana demokratis pemilu.
"Daripada mengurus capres boneka ada hal yang lebih penting yakni dalang pemilu yang tidak demokratis. Persoalan DPT, kotak suara ada yang pakai dos padahal itu daerah yang rawan, ITnya. Itu kami nilai sebagai uji coba. Kami mendapatkan data dari intelejen dalang ini adalah keluarga bapak megaloman dan ibu nia. Kalau bertemu namanya megalomania," kata Hasto, Minggu (29/3).
'Megalomania' ini hanyalah perumpamaan yang diberikan politisi PDIP ini pada sejumlah kalangan yang mempunyai kekuasaan yang besar di Indonesia. Meski tak ingin menyebut 'intelejen' yang dimaksudnya, ia mengaku data yang didapatkan partainya ini valid dan bisa dipertanggungjawabkan.
(rvk/mok)