Ini yang Dirasakan Imigran Gelap Etnis Rohingya di Rudenim Kupang

Ini yang Dirasakan Imigran Gelap Etnis Rohingya di Rudenim Kupang

- detikNews
Kamis, 27 Mar 2014 01:54 WIB
Suasana Rudenim Kupang NTT (Taufan/detikcom)
Kupang - Tatapan sayu penuh pengharapan tampak menggelayut di setiap wajah penghuni Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) Kupang, NTT. Lebih dari satu tahun mereka menunggu kabar akan kepastian tinggal di Australia dari United Nation High Commissioner for Refugees (UNHCR). Merekalah para imigran gelap dari beberapa negara yang tertangkap dan ditampung di Rudenim Kupang.

Sebanyak 134 imigran dari berbagai negara yang kini menunggu uluran tangan PBB di Rudenim Kupang. Ratusan imigran yang tak memiliki dokumen imigrasi lengkap ini berasal dari Irak, Iran, Afganistan, Banglades, Somalia, dan Myanmar.

Saat jajaran Imigrasi dan pekerja media menyambangi Rudenim Kupang, tampak imigran tengah melakukan aktivitasnya masing-masing dengan bermain voli, berbincang-bincang, dan ada pula yang bercocok tanam.

Merasa ada media, dengan antusias mereka bercerita kehidupan yang dijalani sebagai imigran gelap di negeri orang. Salah satunya warga Myanmar etnis Rohingya, Muhammad Yunus (34) yang berkeluh kesah tentang nasibnya yang tak menentu.

"Kita sampai sekarang tinggal menunggu UNHCR. Kalau perasaan sih kita harus pergi ke suatu negara yang mau terima kita saja (etnis Rohingya)," ujar Yunus di Rudenim Kupang, Jalan Adi Sucipto Penful, Kupang, NTT, Rabu (26/3/2014).

Dengan mata berkaca-kaca, Yunus menceritakan kisah perjalanannya yang ingin berimigrasi hingga negeri kangguru. Hal ini dipilihnya karena Yunus merasa Myanmar tidak menerima etnis Rohingya.

Yunus berangkat dari Myanmar lalu berlabuh di Malaysia. Satu tahun ia menetap di negeri jiran itu. Kemudian Yunus kembali berlayar menuju Medan, Sumatera Utara. Perjalanan ini dilakukan Yunus dengan menggunakan kapal. Dari Medan, Yunus kembali menempuh jalur laut hingga Makassar, Sulawesi Selatan.

"Setelah beberapa hari di Makassar, saya berpikir bagaimana bisa sampai di Australia? Akhirnya ke Pulau Rote (NTT). Saat dalam perjalanan ke Australia, hanya sampai ditengah-tengah laut, kapal kena badai, terus ditahan, dan akhirnya sampai ke sini (Rudenim Kupang)," ujar Yunus.

Selama satu tahun mendekap di rudenim, Yunus hanya bisa pasrah menunggu kepastian dari UNHCR. "Ya hanya bisa sabar di sini. Ini kan di dalam hanya bisa menunggu, bagaimana sekarang caranya kita menghilangkan kejenuhan saja, untung banyak kegiatan di sini," ujar Yunus.

Kepala Rudenim Kupang Syahrifullah mengatakan, permasalahan mengatur individu dari beberapa kelompok imigran tidak semudah yang dibayangkan. Psikologis setiap imigran harus selalu dijaga agar tidak menimbulkan stres.

Selain itu, bercampurnya beberapa etnis dalam satu atap tak menutup potensi perselisihan. Untuk mengantisipasinya, dibangun beberapa lokasi pemisah antar imigran.

"Disini antara Rohingya dan Myanmar dipisah, hal itu supaya jangan sampai timbul kejadian-kejadian yang tidak diinginkan. Meski banyak dari beberapa negara tetap terjalin kerukunan antar imigran, dan sangat jarang terjadi konflik di sini," ujar Syahrifullah.


(tfn/vid)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads