Ini Jawaban Lengkap Pemerintah Atas Surat KPK Soal RUU KUHAP

Ini Jawaban Lengkap Pemerintah Atas Surat KPK Soal RUU KUHAP

- detikNews
Jumat, 21 Feb 2014 19:28 WIB
Jakarta - Pemerintah memberikan jawaban atas surat KPK yang meminta agar Presiden SBY menarik RUU KUHAP dari DPR. Pemerintah menjamin tak ada niatan melemahkan KPK. Serius?

"Silakan cek di website Kemekumham," kata Menkum HAM Amir Syamsuddin, Jumat (21/2/2014).

Berikut jawaban lengkap pemerintah tersebut :

Sehubungan dengan pandangan KPK atas pembahasan RUU KUHP dan RUU KUHAP, Pemerintah memberikan tanggapan sebagai berikut:

1. Pemerintah dan Tim Penyusun RUU KUHAP tidak ada maksud sama sekali mengebiri atau menghilangkan kewenangan KPK, namun penyusunan kedua RUU tersebut atas dasar sistem hukum nasional dan memperhatikan HAM yang universal.

2. Proses penyusunan RUU tentang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) telah dilakukan oleh Panitia Penyusunan RUU KUHAP yang dibentuk dengan Keputusan Menteri Kehakiman (Menteri Hukum dan HAM) sejak tahun 1999 sampai dengan 2006 yang diketuai oleh Prof. Dr. (jur). Andi Hamzah dan melibatkan pakar hukum pidana (akademisi), praktisi (advokat), Kementerian Sekretariat Negara, serta unsur penegak hukum yaitu Kepolisian Negara RI, Kejaksaan Agung RI, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, dan Mahkamah Agung RI.Dalam kurun waktu penyusunan RUU KUHAP juga dilakukan sosialisasi, seminar, dan FGD dalam rangka penyempurnaan RUU KUHAP.

3. Berdasarkan hasil Seminar Hukum Nasional tahun 1963 disepakati perlunya mengganti KUHP produk kolonial Belanda dengan KUHP Nasional. RUU KUHP mulai disiapkan oleh Pemerintah sejak tahun 1982 dilengkapi dengan penyusunan Naskah Akademik (NA) yang dipersiapkan oleh, antara lain, Prof. Oemar Senoadji (alm.), S.H., Prof. R. Soedarto (alm.), S.H., Prof. Mardjono Reksodiputro, S.H., M.A., Prof. Muladi. Pada tahun 2004 dibentuk Panitia Penyusunan RUU KUHP yang anggotanya meliputi pakar hukum pidana (akademisi), praktisi (advokat), unsur penegak hukum yaitu Kepolisian Negara RI, Kejaksaan Agung RI, Mahkamah Agung RI. yang diketuai oleh Prof. Muladi. Panitia ini bertugas untuk menyempurnakan rumusan dan melakukan sinkronisasi serta harmonisasi dengan undang-undang lain. Selama kurun waktu penyusunan RUU KUHP tersebut, juga dilakukan sosialisasi, seminar, dan FGD dalam rangka penyempurnaan RUU KUHP.

4. Dengan Keputusan Menteri Hukum dan HAM nomor PPE.693.PP.01.02 Tahun 2011 dibentuk Tim Persiapan Pembahasan RUU KUHAP yang salah satu anggotanya adalah Chandra M. Hamzah (pada saat itu sebagai Pimpinan KPK) dan dengan Keputusan Menteri Hukum dan HAM nomor M.HH-01.PP.01.02 Tahun 2011 dibentuk Tim Persiapan Pembahasan RUU KUHP.

5. RUU KUHAP dan RUU KUHP disampaikan kepada Presiden dengan surat Menteri Hukum dan HAM nomor M.HH.02.03-57 tanggal 6 Desember 2012.

6. RUU KUHAP dan RUU KUHP disampaikan Presiden kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) melalui surat nomor R-87/Pres/12/2012 dan surat nomor R-88/Pres/12/2012 tanggal 11 Desember 2012 dan di dalam surat tersebut Presiden menugaskan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk mewakili Presiden dalam pembahasan kedua RUU tersebut di DPR RI guna mendapatkan persetujuan.

7. Saat ini pembahasan RUU KUHAP dan RUU KUHP di DPR telah masuk pada tahap panitia kerja yang membahas substansi berdasarkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM). Terkait dengan adanya usulan penarikan kedua RUU tersebut, berdasarkan ketentuan Pasal 70 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan diatur bahwa “Rancangan Undang-Undang yang sedang dibahas hanya dapat ditarik kembali berdasarkan persetujuan bersama DPR dan Presiden”. Dengan demikian terhadap RUU KUHAP dan RUU KUHP yang sedang dibahas di Komisi III DPR RI tidak mungkin secara sepihak dapat ditarik oleh Presiden tanpa persetujuan DPR.

8. Terkait dengan pandangan dan sikap KPK terhadap kedua RUU tersebut dapat disampaikan hal-hal sebagai berikut:

a. RUU KUHP merupakan upaya rekodifikasi hukum pidana sehingga seluruh asas hukum pidana berlaku untuk semua tindak pidana baik yang diatur di dalam KUHP maupun di luar KUHP. Dengan berlakunya KUHP baru, Undang-Undang di luar KUHP bukan berarti menjadi tidak berlaku karena Undang-Undang di luar KUHP merupakan lex specialis. Hal ini secara jelas telah diatur dalam Pasal 757 dan Pasal 758 RUU KUHP. Dengan demikian, RUU KUHP tidak mengeliminasi eksistensi Undang-Undang di luar KUHP dan tidak mendelegitimasi keberadaan lembaga penegak hukum (antara lain KPK).

b. RUU KUHP dan RUU KUHAP merupakan lex generalis sehingga tidak menghilangkan kewenangan KPK untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 dan hukum acara pidana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, yang merupakan lex specialis.

c. Penerapan pendekatan restorative justice dalam RUU KUHP dan RUU KUHAP sesuai dengan resolusi ECOSOC bulan Juli tahun 2000 tentang “basic principles on the use of restorative justice programmes on criminal matters” yang diadopsi oleh ECOSOC sebagai pedoman untuk penerapannya dalam sistem pidana nasional. Pendekatan ini pada dasarnya ditujukan untuk tindak pidana yang tidak serius yang ancamannya maksimum 5 (lima) tahun jika pelaku berumur diatas atau 70 tahun atau kerugian sudah diganti. Dengan demikian, Pasal 702 RUU KUHP tidak termasuk bagian dari restorative justice dan tidak bertentangan dengan Pasal 42

d. Terkait dengan penghapusan penyelidikan dalam RUU KUHAP, hal ini diserahkan kepada setiap institusi yang telah ditentukan dalam undang-undang masing-masing, misalnya Pasal 43 dan Pasal 44Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002. Selain itu, tindakanpenyelidikan merupakan tindakan yang dilakukan secara diam-diam (tindakan keintelijenan) yang bersifat undercoveryang cukup diatur di dalam SOP.

e. Terkait dengan masa penahanan, mulai dari tingkat penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan sampai dengan kasasi hanya mempunyai perbedaan 41 hari antara RUU KUHAP dan KUHAP (Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981). Masa penahanan dalam RUU KUHAP berjumlah 360 hari, sedangkan dalam KUHAP berjumlah 401 hari. Pembatasan mengenai jumlah masa penahanan disesuaikan dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan ICCPR yang berlaku secara universal.

f. Mengenai justice collaborator dan whistle blower pada dasarnya sama dengan saksi mahkota (Pasal 200 RUU KUHAP). Untuk melengkapi ketentuan tersebut, dalam RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban telah disebutkan justice collaborator danwhistle

g. Mengenai hukum acara untuk korporasi, dalam RUU KUHP diatur secara umum dalam Buku I Bab II mengenai Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana (Pasal 48, Pasal 50, Pasal 51 dan Pasal 52).

h. Mengenai penyadapan, dapat diartikan bahwa Pasal 3 ayat (2) RUU KUHAP memberikan keleluasaan kepada undang-undang di luar KUHAP mengatur hukum acaranya masing-masing. Dengan ketentuan tersebut, KPK dapat melakukan penyadapan tanpa meminta izin kepada pengadilan. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002.

i. Mengenai putusan MA yang tidak boleh melebihi putusan pengadilan dibawahnya, hal ini didasarkan pada kewenangan MA itu sendiriyang hanya memeriksapenerapan hukum dari judex jurist (lihat Pasal 250 ayat (3) RUU KUHAP).

(kff/ndr)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads