Berikut wawancara khusus detikcom dengan Suhardjono atas kegagalan tersebut, Sabtu (8/2/2014):
Terkait keputusan DPR, apa Bapak sudah sepenuhnya menerima?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Apakah yang saya jalankan itu salah? kan kualitas itu sudah ditentukan
di tes KY, berkali-kali tes. Katakanlan saya mau masuk PTN, masa yang tahun lalu gagal mau dinilai lagi di tahun ini.
Di seleksi KY, saya kan dinyatakan lulus. Tahapan yang dinyatakan KY itu kan seperti itu. Ada tes kesehatan, fit and proper test dan lain-lain. Seleksi KY itu salahnya dimana? Saya dibilang tidak berkualitas dan afkir, lalu dimana logikanya saya dinyatakan afkir? gitu lho ya.
Kalau bicara soal putusan MK, DPR itu sudah masuk ranah persetujuan. Ini kan diulangi lagi masalah fit and proper test, mana kelemahan saya, di test itu. Mana jelaskan kepada saya.
Coba seleksi calon hakim tahun 2012, apakah itu semua yang hanya satu kali tes, kan banyak yang berkali-kali. Kenapa dia diluluskan? apakah itu karena saya afkir.
Kalau dibandingkan lagi di BI, Pak Agus Marto berapa kali ditolak hingga akhirnya jadi gubernur.
Kalau liat lagi calon presiden, kepala daerah, tidak ada keseimbangan tidak ada balance. Ditolak oke, tapi jangan dijudge sebelumnya. Padahal saya ini dari karir, KY juga sudah turun menjejak karir saya.
Bukan puas tidak puas (dengan keputusan DPR), tapi bagaiamana mereka membuat sistem acaranya. Itu kan hak Beliau untuk memvote saya.
Jadi menurut Bapak, tidak semua anggota komisi III yang memvote itu mengikuti fit and proper test Bapak?
Iya, sudah pasti. Dia (DPR) menjudge seolah-olah memang tidak suka kepada kita, kalau di agama itu kan kita jangan tidak adil dengan siapapun. KY melakukan rekam jejak, secara diam-diam, datang ke kantor, ke rumah saya, kalau moral saya jelek bisa dijudge waktu itu dan tidak diluluskan.
Kalau bertanya kepada saya, itu lah suara hati saya. Seakan-akan hanya karena asas suka dan tidak suka. Waktu itu diuji dapat nilai berapa, itu di mana. Langsung vote aja.
Menurut Bapak, apa DPR sudah kredibel untuk bisa melakukan fit and proper test terhadap calon hakim agung?
Bukan masalah itu. Tapi kan keputusan MK itu masalah persetujuan. Tidak ada fit and proper test, apakah DPR mematuhi keputusan MK atau tidak. Sekarang saya akan tetap mengabdi di pekerjaan saya, di Pengadilan Tinggi Makassar.
Tanggapan keluarga bagaimana Pak?
Kalau itu saya ungkapkan bisa berlinang air mata saya. 28 hakim tinggi
dan 2 hakim ad hoc merekomendasikan saya, Ibu bisa tanyakan bagaimana di
masyarakat saya berkarir.
Masih ke kantor naik sepeda motor Pak?
Iya, tapi saya bukan sok melarat. Saya minta ini tidak dipublikasi. Itu atas asas efisiensi saja.
Nanti apa berniat mencalonkan diri lagi?
Saya mekanismnye belum tahu. apakah ikut lagi atau tidak. Ini sudah konflik batin saya. sudah dipublikasikan tidak berkualitas, sudah afkir, mungkin saya juga harus malu, jeritan hati saya bagaimana itu. Jadi harus ada mekanisme sistem acaranya.
Saya mohon maaf kalau ungkapan saya terlalu emosional. Dorongan dari atasan untuk mencalonkan diri yang membuat jadi terdorong juga dari hati saya. Saya melihat yang lulus hakim agung itu, Insya Allah saya bisa menyamai mereka.
Bukan saya mengukur diri saya sendiri, tapi dorongan dari hakim tinggi dan teman-teman semua. Pimpinan juga.
Tolong teman-emen wartawan ini vote harus menjaring bagaimana sehari-hari saya, menjudge dalam 2 jam itu apakah tepat? Hanya semata-mataa dia kasih sepatah dua patah kata lalu menilai 6, 8, dari mana? Perbaikan 2014, supaya teman-teman tidak diperlakukan seperti saya.
Kalau DPR merasa itu adil ya silakan. Tapi begitulah suara hati saya.
(asp/van)