Sosialita, antara Tas Ratusan Juta hingga Barang Tiruan

Mengintip Arisan Sosialita Jakarta

Sosialita, antara Tas Ratusan Juta hingga Barang Tiruan

- detikNews
Rabu, 15 Jan 2014 16:22 WIB
Sebuah acara fashion show sosialitas di Jakarta. (foto-detikcom)
Jakarta - Sigmund Freud, bapak psikoanalisis pernah mengungkapkan sebuah teori; jika individu berkumpul membentuk massa, mereka akan meninggalkan pola pikir masing-masing dan beralih ke pikiran kolektif. Di era modern, teori yang dikemukakan Freud tersebut terjadi juga di arisan kalangan sosialita.

Arisan adalah salah satu contoh pikiran kolektif dalam bentuk sederhana, sehingga anggotanya mudah digiring untuk menerima atau menolak suatu ide. Nadia Mulya, penulis buku 'Kocok; The Untold Stories of Arisan Ladies and Socialites' menyebut ada beberapa sisi negatif arisan sosialita.

Salah satunya, seorang sosialita yang tidak memiliki karakter dan pemahaman finansial keluarganya, bisa terseret dalam gaya hidup hedonisme. Menurut Nadia, banyak kalangan sosialita juga memanfaatkan arisan untuk menjual sejumlah barang bermerek. Seperti tas bermerek, perhiasan, baju, gelang, dan jam Rolex.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Penawaran itu ditambah dengan iming-iming diskon atau cicilan. Jika tidak kuat menolak, maka banyak yang jadi tercebur dan ikut-ikutan dalam gaya hidup tersebut.

“Yang menyedihkan, pada saat mereka berkumpul dengan si orang-orang kaya dan merasa ‘oh gua juga kaya’. Padahal pas dia pulang ke rumah, ternyata enggak kaya gitu, suaminya juga enggak mendukung. Sementara dia sudah tercebur dan merasa senang karena bisa bergaul dengan istri para konglomerat atau wanita simpanan misalnya,” kata Nadia kepada detikcom, Jumat (10/1) akhir pekan lalu.

Wal hasil, tak jarang arisan para sosialita banyak yang cenderung menjadi kegiatan hura-hura. Tujuan sosial arisan pun berganti jadi ajang untuk pamer kekayaan dan tampil heboh demi bisa masuk liputan media. Mereka berlomba tampil bagus dan maksimal sesuai dress code yang tak biasa.

Untuk ini, para ibu-ibu arisan tak sungkan merogoh kocek dalam-dalam untuk membeli gaya hidup, mulai dari perawatan kecantikan seperti operasi plastik, perawatan salon yang berjam-jam, menyewa, belanja baju, tas, sepatu, hingga menyewa make up artist khusus dan fotografer professional.

Tas Birkin dan Kelly keluaran Hermes misalnya. Kalangan urban melihat tas sebagai indikator strata sosial. Maka makin mahal dan bergengsi tas yang disandang, statusnya akan kian meningkat.

Demi mendapat pengakuan itu pula, kata Nadia, tak jarang banyak orang yang memaksakan diri. Bahkan, ada juga yang membeli barang tiruan demi bisa tetap tampil eksis menenteng tas harga ratusan juta itu.

“Banyak yang terbuai sama tas itu. Kalau kita berkumpul dengan orang yang ngomongin uang Rp 1 juta ibaratnya Rp 1000 perak. Misalnya, ‘gila, gua barusan habis dari sale, ada baju muraaaaah banget, dari Rp 14 juta jadi 7 juta,” papar Nadia.

Psikolog Universitas Indonesia, Ratih Andjayani Ibrahim mengatakan modifikasi arisan yang cenderung jadi kegiatan hura-hura belum tentu jadi gaya hidup yang cetek.

“Mesti dicermati lebih lanjut, kreativitasnya bagaimana, sebab jika sekadar seru-seruan, tentu tidak. tapi jika makin lama makin jor-joran, dan mengacu pada gaya hidup hedonisme belaka, bisa dikatakan itu mengarah ke gaya hidup cetek,” kata Ratih seperti dikutip dari buku Kocok; The Untold Stories of Arisan Ladies and Socialites itu.



(erd/erd)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.

Hide Ads