Ironisnya, parpol yang menjadi pengusung bakal calon presiden pun juga hanya mengandalkan citra personal. Bung Karno pernah berkata, Sebuah partai harus dipimpin oleh ide, menghikmati ide, memikul ide, dan membumikan ide." Parpol terjebak pada realita bahwa tokoh yang diusung harus seorang yang menarik dan mampu menggaet pasar pemilih. Inilah saya kira, ketika politik disamakan dengan bisnis maka akan berdampak pada minimnya kualitas gagasan yang dibawa tentang bagaimana memajukan Indonesia. Ada kesalahan logika bila memaknai kampanye parpol sebagai political marketing yang cenderung pragmatis, bukan sebagai arena kontestasi gagasan masa depan.
Minimnya diskusi gagasan ini bukan hanya terkait dengan budaya Indonesia yang cenderung menghindari debat, tetapi juga dikarenakan rendahnya kemampuan para bakal calon presiden dan parpol pengusung dalam membaca pola sejarah, menjabarkan tantangan masa kini dan menajamkan gagasan ke depan. Akibatnya, publik tidak memiliki visualisasi tentang bagaimana hidup mereka dan nasib Indonesia bila nantinya memiliki presiden A atau B.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pernyataan semacam itu bukanlah gagasan yang ingin didengar oleh publik, tetapi publik ingin mendengar dan juga perlu dibiasakan- tentang berapa persen pajak yang harus dibayar ketika mereka buka usaha, sejauh mana subsidi kesehatan bagi kelas bawah dan menengah, bagaimana strategi ekonomi agar kurs rupiah menguat terhadap Dollar Amerika, atau tentang bagaimana skema pembangunan desa versi capres pasca disahkannya UU Desa pekan lalu. Bila diskusi semacam ini dilakukan oleh para capres, maka perdebatan mengenai strategi jitu membangun Indonesia bisa lebih dirasakan oleh publik.
Perbedaan gagasan antara capres sejatinya bisa menjadi kesempatan bagi presiden terpilih kelak untuk mematangkan konsep pengelolaan negeri ini. Selama masa kampanye, seorang capres dituntut untuk mampu memiliki data akurat, memetakan tantangan secara jelas, dan mengolahnya menjadi strategi jitu dalam membangun Indonesia. Sehingga, perang dalam pemilu adalah perang pemikiran dan gagasan, bukan perang media dan pencitraan.Jangan sampai pemilihan presiden republik ini tak ubahnya pemilihan Idol yang hanya berbasiskan wajah, kesukaan sikap, atau sekedar suara tanpa isi.
Pemilu adalah kontestasi gagasan, bukan arena ajang adu bakat mencitrakan diri. Saya kira, publik juga sudah muak dengan ribuan spanduk, baliho, dan poster yang hanya berisikan wajah berukuran besar dengan sedikit sekali informasi mengenai program apa yang ia bawa. Pemilihan presiden adalah wahana untuk merapatkan rakyat dalam menentukan masa depan Indonesia. Rakyat perlu digiring untuk mendukung gagasan, bukan sosok rupawan.
Selasar Pendopo Babakan Siliwangi, 26 Desember 2013
Keterangan: Penulis adalah pemerhati politik ekonomi. (es/es)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini